Senin, 14 Februari 2011

hadis tentang kawin mut'ah

Diposting oleh Zieza Cubby di 00.53
NIKAH MUT’AH
Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunnah Rosul yang harus dilakukan oleh umat islam, banyak perintah Allah dalam Al-qur’an untuk melaksanakan pernikahan, seperti dalam surat An-nur ayat 32:
                   
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS.An-nur:32).
Adapun hikmah dari pernikahan itu sendiri adalah menghalangi mata dari melihat-hal yang tidak diizinkan syara’, dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Seperti yang disabdakan Nabi yang berasal dari Abdullah bin Mas’ud.
حدثنا عمر بن حفص بن غياث: حدثنا أبي: حدثنا الأعشى قال: حدثني عمارة: عن عبد الرحمن بن يزيد قال:دخلت مع علقمة الأسود على عبد الله، فقال عبد الله: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم شبابا لا نجد فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يا معشر الشباب، من استطاع الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء).(رواه متفق عليه)
Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa saja yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.(HR.Bukhari dan Muslim).
Tapi, ada beberapa jenis pernikahan yang saat ini banyak diperbincangkan oleh masyarakat. seperti halnya nikah sirri ataupun nikah mut’ah. secara etimologis, kawin kontrak mempunyai pengertian ”kenikmatan” dan ”kesenangan”. Dalam hukum islam, definisi nikah mut’ah adalah pernikahan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu, yang bila masa itu telah datang, pernikahan terputus dengan sendirinya. Nikah mut’ah saat ini masih dijalankan oleh penduduk iran yang bermadzhab Syi’ah Imamiyah dan disebut dengan nikah munqati’.
Mengenai nikah mut’ah akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
Hadis utama
Riwayat imam at-tirmidzi
حدثنا محمود بن غيلان أخبرنا سفيان بن عقبة أخو قبيصة بن عقبة أخبرنا سفيان الثوري عن موسى بن عبيدة عن محمد بن كعب عن ابن عباس قال: إنما كانت المتعة في أول الإسلام كان الرجل يقدم البلدة ليس له بها معرفة فيتزوج المرأة بقدر ما يرى أنه يقيم فتحفظ له متاعه وتصلح له شيأه حتى إذا نزلت الآية {إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم} قال ابن عباس: فكل فرج سواهما فهو حرام.
Dan dari muhammad bin ka’ab dari ibnu abbas, ia berkata: sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan islam, yaitu seseorang datang kesuatu negeri, dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu. Lalu ia mengawini seseorang perempuan selama ia mukim (di tempat itu) lalu perempuan itu memelihara barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (“ kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba yang mereka miliki”-QS.Al-mu’minun:6”). Ibnu Abbas berkata : maka setiap persetubuhan selain dengan dua jalan itu (nikah dan pemilikan hamba) adalah haram. (HR.At-tirmidzi).
1407 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وابن نمير وزهير بن حرب. جميعا عن ابن عيينة. قال زهير: حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري، عن الحسن وعبدالله ابني محمد بن علي، عن أبيهما، عن علي ؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى، عن نكاح المتعة، يوم خيبر. وعن لحوم الحمر الأهلية.
Dan dari Ali, bahwa sesungguhnya Nabi saw melarang nikah mut’ah dan daging himar piaraan pada waktu perang khaibar.(HR.imam muslim).

Hadis pendukung
Riwayat imam muslim
1406. حدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا يحيى بن آدم. حدثنا إبراهيم بن سعد عن عبدالملك بن الربيع بن سبرة الجهني، عن أبيه، عن جده قال:أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمتعة، عام الفتح، حين دخلنا مكة. ثم لم نخرج منها حتى نهانا عنها.
Riwayat Ahmad dan Imam muslim
2494. وفي رواية :أنه كان مع النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يأيها الناس إني كنت أذنت لكم في الإستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شئ فليخل سبيله ولا تأخذوا مما اتيتموهن شيئا.(رواه أحمد ومسلم).

Riwayat Ahmad dan Abu daud
2496. وفي رواية عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم. في حجة الوداع نهى عن نكاح المتعة.
(رواه أحمد وأبو داود)
Pembahasan
Larangan nikah mut’ah menurut para ulama’
1. Menurut Al-khattabi: “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.”
2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan,nikah mut’ah dihalalkan pada tahun al-Fath (Fathul Makkah/penaklukan kota Makkah) dan dilarang pada tahun yang sama, di mana para sahabat telah berdiam selama 30 hari di sana. Sedang menurut Imam Nawawi, pengharaman dan pembolehan ini terjadi dua kali. Pertama, sebelum Khaibar diperbolehkan dan dilarang saat Khaibar pula. Kedua, diperbolehkan pada masa al-Fath yaitu pada hari-hari authas (masa perang Hunain dan Tha’if, 8 H/630 M),dan pada tahun itu juga diharamkan selama-lamanya.
3. Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr RA dan Umar RA, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran dan Hukum Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah SAW
Mut’ah Sering dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini karena menyamakan Mut’ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima karena perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rokhsah dalam isu zina. Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya? Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu? Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut’ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut’ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, ” Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat.”
Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, ” Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya karena Amr bin khuraits.” Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah sebelum baginda wafat adalah hadis-hadis dhaif. Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah karena seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu karena mereka adalah musuh mereka. Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah. hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud? Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat nikah mut’ah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata. Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain: “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.” Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadis ini dalam bab haji tamattu. Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka.” Sanadnya sahih. Justru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (lihat juga Syed Sabiq bab nikah mut’ah). Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, ” Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”. Perlulah diingatkan bahwa keharusan nikah mut’ah yang diamalkan oleh Mazhab Syiah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah mut’ah memang tidak sama dengan zina].
Nabi membolehkan nikah mut’ah dengan syarat, pertama, boleh bagi musafir yang benar-benar butuh. Kedua, harus dengan hadirnya wali perempuan dan 2 saksi. Ketiga, mahar harus disepakati bersama. Keempat, bila masanya habis, perempuan harus ber-iddah. Kelima, bila ada anak nasabnya kepada suami.
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi SAW, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
• Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
• Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
• Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja.(HR.Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
• Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406).

Penutup
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.

DAFTAR PUSTAKA

- Al- Qur’an al-Karim
- Al- Maktabah Al syamilah, sunan At-tirmidzi
- An-Nawawi, Syarah shohih muslim, juz 5.
- Muammil Hamidi, Dkk. Terjemahan Nailul Author Himpunan Hadis-hadis Hukum , PT.Bina Ilmu: Surabaya.
- http://luluvikar.wordpress.com/2004/12/23/kawin-mutah/.
- http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=602:polemik-nikah-mutah-dalam-islam--al-arham-edisi-32-a&catid=19:al-arham&Itemid=328
- http://saif1924.wordpress.com/2008/01/24/kata-syiah-tentang-nikah-mutah/

0 komentar on "hadis tentang kawin mut'ah"

Posting Komentar

NIKAH MUT’AH
Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunnah Rosul yang harus dilakukan oleh umat islam, banyak perintah Allah dalam Al-qur’an untuk melaksanakan pernikahan, seperti dalam surat An-nur ayat 32:
                   
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS.An-nur:32).
Adapun hikmah dari pernikahan itu sendiri adalah menghalangi mata dari melihat-hal yang tidak diizinkan syara’, dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Seperti yang disabdakan Nabi yang berasal dari Abdullah bin Mas’ud.
حدثنا عمر بن حفص بن غياث: حدثنا أبي: حدثنا الأعشى قال: حدثني عمارة: عن عبد الرحمن بن يزيد قال:دخلت مع علقمة الأسود على عبد الله، فقال عبد الله: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم شبابا لا نجد فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يا معشر الشباب، من استطاع الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء).(رواه متفق عليه)
Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa saja yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.(HR.Bukhari dan Muslim).
Tapi, ada beberapa jenis pernikahan yang saat ini banyak diperbincangkan oleh masyarakat. seperti halnya nikah sirri ataupun nikah mut’ah. secara etimologis, kawin kontrak mempunyai pengertian ”kenikmatan” dan ”kesenangan”. Dalam hukum islam, definisi nikah mut’ah adalah pernikahan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu, yang bila masa itu telah datang, pernikahan terputus dengan sendirinya. Nikah mut’ah saat ini masih dijalankan oleh penduduk iran yang bermadzhab Syi’ah Imamiyah dan disebut dengan nikah munqati’.
Mengenai nikah mut’ah akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
Hadis utama
Riwayat imam at-tirmidzi
حدثنا محمود بن غيلان أخبرنا سفيان بن عقبة أخو قبيصة بن عقبة أخبرنا سفيان الثوري عن موسى بن عبيدة عن محمد بن كعب عن ابن عباس قال: إنما كانت المتعة في أول الإسلام كان الرجل يقدم البلدة ليس له بها معرفة فيتزوج المرأة بقدر ما يرى أنه يقيم فتحفظ له متاعه وتصلح له شيأه حتى إذا نزلت الآية {إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم} قال ابن عباس: فكل فرج سواهما فهو حرام.
Dan dari muhammad bin ka’ab dari ibnu abbas, ia berkata: sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan islam, yaitu seseorang datang kesuatu negeri, dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu. Lalu ia mengawini seseorang perempuan selama ia mukim (di tempat itu) lalu perempuan itu memelihara barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (“ kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba yang mereka miliki”-QS.Al-mu’minun:6”). Ibnu Abbas berkata : maka setiap persetubuhan selain dengan dua jalan itu (nikah dan pemilikan hamba) adalah haram. (HR.At-tirmidzi).
1407 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وابن نمير وزهير بن حرب. جميعا عن ابن عيينة. قال زهير: حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري، عن الحسن وعبدالله ابني محمد بن علي، عن أبيهما، عن علي ؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى، عن نكاح المتعة، يوم خيبر. وعن لحوم الحمر الأهلية.
Dan dari Ali, bahwa sesungguhnya Nabi saw melarang nikah mut’ah dan daging himar piaraan pada waktu perang khaibar.(HR.imam muslim).

Hadis pendukung
Riwayat imam muslim
1406. حدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا يحيى بن آدم. حدثنا إبراهيم بن سعد عن عبدالملك بن الربيع بن سبرة الجهني، عن أبيه، عن جده قال:أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمتعة، عام الفتح، حين دخلنا مكة. ثم لم نخرج منها حتى نهانا عنها.
Riwayat Ahmad dan Imam muslim
2494. وفي رواية :أنه كان مع النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يأيها الناس إني كنت أذنت لكم في الإستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شئ فليخل سبيله ولا تأخذوا مما اتيتموهن شيئا.(رواه أحمد ومسلم).

Riwayat Ahmad dan Abu daud
2496. وفي رواية عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم. في حجة الوداع نهى عن نكاح المتعة.
(رواه أحمد وأبو داود)
Pembahasan
Larangan nikah mut’ah menurut para ulama’
1. Menurut Al-khattabi: “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.”
2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan,nikah mut’ah dihalalkan pada tahun al-Fath (Fathul Makkah/penaklukan kota Makkah) dan dilarang pada tahun yang sama, di mana para sahabat telah berdiam selama 30 hari di sana. Sedang menurut Imam Nawawi, pengharaman dan pembolehan ini terjadi dua kali. Pertama, sebelum Khaibar diperbolehkan dan dilarang saat Khaibar pula. Kedua, diperbolehkan pada masa al-Fath yaitu pada hari-hari authas (masa perang Hunain dan Tha’if, 8 H/630 M),dan pada tahun itu juga diharamkan selama-lamanya.
3. Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr RA dan Umar RA, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Gambaran dan Hukum Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah SAW
Mut’ah Sering dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini karena menyamakan Mut’ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima karena perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rokhsah dalam isu zina. Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya? Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu? Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut’ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut’ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, ” Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat.”
Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, ” Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya karena Amr bin khuraits.” Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah sebelum baginda wafat adalah hadis-hadis dhaif. Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah karena seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu karena mereka adalah musuh mereka. Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah. hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud? Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat nikah mut’ah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata. Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain: “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.” Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadis ini dalam bab haji tamattu. Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka.” Sanadnya sahih. Justru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (lihat juga Syed Sabiq bab nikah mut’ah). Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, ” Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”. Perlulah diingatkan bahwa keharusan nikah mut’ah yang diamalkan oleh Mazhab Syiah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah mut’ah memang tidak sama dengan zina].
Nabi membolehkan nikah mut’ah dengan syarat, pertama, boleh bagi musafir yang benar-benar butuh. Kedua, harus dengan hadirnya wali perempuan dan 2 saksi. Ketiga, mahar harus disepakati bersama. Keempat, bila masanya habis, perempuan harus ber-iddah. Kelima, bila ada anak nasabnya kepada suami.
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi SAW, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
• Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
• Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
• Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja.(HR.Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
• Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406).

Penutup
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.

DAFTAR PUSTAKA

- Al- Qur’an al-Karim
- Al- Maktabah Al syamilah, sunan At-tirmidzi
- An-Nawawi, Syarah shohih muslim, juz 5.
- Muammil Hamidi, Dkk. Terjemahan Nailul Author Himpunan Hadis-hadis Hukum , PT.Bina Ilmu: Surabaya.
- http://luluvikar.wordpress.com/2004/12/23/kawin-mutah/.
- http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=602:polemik-nikah-mutah-dalam-islam--al-arham-edisi-32-a&catid=19:al-arham&Itemid=328
- http://saif1924.wordpress.com/2008/01/24/kata-syiah-tentang-nikah-mutah/

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal