Rabu, 04 Mei 2011

FIQIH KONTEMPORER

Diposting oleh Zieza Cubby di 07.52
PEGADAIAN (RAHN)
a. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna diturunkan oleh Allas SWT kepada Nabi Muhammad Saw melalui perentara Malaikat Jibril a.s yang mengandungi tiga aspek ajaran yaitu “akidah, Syaria’ah dan akhlaq.
Ajaran Islam yang mengandung unsur Syari’ah berisikan hal-hal yang mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablu min Nas) yang dikenal dengan Muamalah Islam. Di antara amalan Muamalah tersebut melingkupi aktivitas perekonomian seperti, perdagangan, pinjamam-meminjam, gadaian barang dan aktifitas ekonomi lainnya. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai terkadang menjadi kebutuhan yang segera pada waktu-waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak yang mencakupi kebutuhan primer, skunder maupun pelengkap demi keberlangsungan hidup.
Namun demikian, kebutuhan tersebut adakalah tidak diimbangi dengan ketersediaannya uang tunai yang dimiliki. Maka solusi untuk mengatasi hal tersebut masyarakat akan mendatangi lembaga keuangan atau individu-individu yang bisa menalangi dengan perjanjian ada barang yang diserahkan sebagai jaminan yang dikenal dengan istilah praktek pegadaian. Sebelum munculnya praktek lembaga keuangan Syari’ah masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan terlibat dalam praktek gadaian konvensional yang berbunga yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Pembahasan
1. Pengertian
Gadai (rahn) menurut bahasa artinya tetap dan berkesinambungan, atau disebut jug dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syari’at islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagaian manfaat barang tersebut.
2. Dalil yang memperbolehkan akad gadai
Landasan hukum islam tentang gadai adalah boleh berdasarkan al-Qur’an surat Al-baqoroh: 283, yaitu “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S al- baqoroh: 283).
Landasan hukum yang ke-2 dari riwayat hadis. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas, berkata: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di madinah, sewaktu beliau mengutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau.” (H.R Ahmad, Bukhori, Nasa’i, Ibnu Majah).
Para ulama’ bersepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa syari’at tersebut diberlakukan bagi orang yang tidak berpergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah saw, terhadap orang yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan dalam ayat di atas, maka tergantung kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tersebut.
3. Hukum pemanfaatan barang gadai
Ada beberapa pendapat para ulama’ yang boleh tidaknya memanfatkan barang gadai, yaitu:
a. Menurut ulama’ syafi’iyah
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Menurut ulama syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun jaminan) itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).Dalam hadist Rasullah Saw, yang artinya:“Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Berdasarkan hadist diatas, menurut ulama Syaf’iyah bahwa barang gadai hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai, sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin. Dengan demikian, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan adalah milik rahin. Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
b. Pendapat ulama’ malikiyah
Madzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan barang (jaminan) untuk dipegangkan oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika barang sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.
Murtahin hanya dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang gadai dengan beberapa syarat: 1) Hutang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat terjadi seperti orang menjual barang dengan tangguh, kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan hutangnya maka hal ini diperbolehkan. 2) Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya. 3) Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal. Landasan hukumnya adalah hadist Nabi Muhammad Saw. Yang artinya:“Dari Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Hewan sesorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemilinya”.(HR.Bukhari).
c. Pendapat ulama’ hanabilah
Menurut ulama Hanabilah syarat bagi murtahin untuk mengambil barang gadai yang bukan berupa hewan adalah:
1) Ada izin dari pemilik barang (rahin) .
2) Adanya gadai bukan sebab menghutangkan, Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah, kebun, dan lain sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya. Dalam persoalan barang jaminan, yaitu untuk keselamatn pinjaman jenis qard, tidak di izinkan untuk memanfaatkan barang jaminan karena hal ini dapat di samakan dengan riba, begitu juga penggadai tidak harus menggunakan barang jaminan tanpa seizin pemegang gadai.
Dalil yang mendasar yang membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun) yang dapat ditunggangi adalah hadist Nabi Saw yang artinya: “Barang gadai (marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susunya diminum, dengan nafkahnya abapila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR.Bukhari).
d. Pendapat ulama’ hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadist Nabi Saw yang artinya: Abu Shalih dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Barang Jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) dikuasai oleh penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin), maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (Rahin). Imam Hanafi menambahkan, bahwa pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya.
4. Adapun syarat dan rukun gadai adalah sebagai berikut:
- Rukun gadai
1). Sighat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang
menerima gadai (murtahin).
3). Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Utang (marhun bih).
- Syarat syah gadai:
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
4. Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang (murtahin) atau wakilnya.
Dewan Syari’ah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini, yaitu dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip, ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/II/2002. Namun, ada sedikit ketentuan khusus mengenai rahn ini, sebagai berikut:
1). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
2). Ongkos tersebut besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan.
3). Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
Syarat barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama’ ahli fiqih adalah sebagai berikut:
1. Jaminan itu harus dapat di jual dan nulainya seimbang dengan besarnya hutang.
2. Jaminan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat islam.
3. Jaminan harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
4. Jaminan harus milik debitor (orang yang berhutang) itu sendiri.
5. Jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
6. Jaminan itu harus berupa barang yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat.
7. Jaminan dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa gadai itu baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan kreditor, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh debitor. Apabila barang jaminan itu berupa benda yang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka yang diberikan kepada kreditor cukup dengan sertifikat tanah atau surat-surat rumah. Syarat yang terakhir (kesempurnaan gadai) oleh ulama’ fiqih disebut dengan Al-qabd Al-marhun (barang jaminan secara hukum dikuasai atau di pegang oleh kreditor). Apabila debitor tidak bisa melunasi utang kepada kreditor maka barang jaminan dapat dijual untuk melunasi hutang, jika masih ada kelebihan dari hasil penjualan, maka kelebihan hasil penjualan jaminan itu wajib dikembailikan kepada pemiliknya. Tapi jika debitor tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang jaminan tersebut. Dan apabila masih kurang nilainya maka debitor wajib melunasi sisa hutangnya.
- Berakhirnya akad gadai, gadai batal apabila:
1. Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn batal jika rahin meninggal sebelum menyerahkan jaminan kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin sebelum mengembalikan jaminan kepada rahin.
2. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dipandang habis apabila murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin.hal ini terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya dengan cara tidak memegang barang jaminan.
3. Rahin membatalkan gadai
Rahin membatalkan gadai karena tidak jadi melakukan pinjaman kepada murtahin. Karena rahin telah memperoleh dana.
c. Kesimpulan
Gadai dalam Islam merupakan salah satu instrumen jasa keuangan dalam sistem perekonomian Islam yang bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana secara cepat melalui prinsip-prinsip syari’ah. Dan pemanfaatan barang gadai, ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini ada yang membolehkan ada yang tidak, tapi pada dasarnya barang jaminan tidak boleh diambil manfaatnya oleh kreditor ataupun debitor kecuali apabila ada izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Pemanfaatan tersebut merupakan biaya atas pemeliharaan barang jaminan, sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa pemanfaatan itu haruslah mengikuti perbandingan perbelanjaan, jika tidak demikian, ia dianggap sama dengan riba. Sedangkan biaya penyimpanan atau pemeliharaan barang jaminan menurut kebanyakan ulama’ menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan (balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaiannya.


DAFTAR PUSTAKA
• Muslehudin Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, PT Renika Cipta, Jakarta. 1994
• Remy Sutan SJ, Perbankan IslamPT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 1999.
• Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara ,Jakarta. 2006.
• Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003.
• Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta. 1992.
• Syafei Racmat, Fiqh Muamalah Cetakan III, Pustaka Setia ,Bandung,. 2006

0 komentar on "FIQIH KONTEMPORER"

Posting Komentar

PEGADAIAN (RAHN)
a. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna diturunkan oleh Allas SWT kepada Nabi Muhammad Saw melalui perentara Malaikat Jibril a.s yang mengandungi tiga aspek ajaran yaitu “akidah, Syaria’ah dan akhlaq.
Ajaran Islam yang mengandung unsur Syari’ah berisikan hal-hal yang mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablu min Nas) yang dikenal dengan Muamalah Islam. Di antara amalan Muamalah tersebut melingkupi aktivitas perekonomian seperti, perdagangan, pinjamam-meminjam, gadaian barang dan aktifitas ekonomi lainnya. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai terkadang menjadi kebutuhan yang segera pada waktu-waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak yang mencakupi kebutuhan primer, skunder maupun pelengkap demi keberlangsungan hidup.
Namun demikian, kebutuhan tersebut adakalah tidak diimbangi dengan ketersediaannya uang tunai yang dimiliki. Maka solusi untuk mengatasi hal tersebut masyarakat akan mendatangi lembaga keuangan atau individu-individu yang bisa menalangi dengan perjanjian ada barang yang diserahkan sebagai jaminan yang dikenal dengan istilah praktek pegadaian. Sebelum munculnya praktek lembaga keuangan Syari’ah masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan terlibat dalam praktek gadaian konvensional yang berbunga yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Pembahasan
1. Pengertian
Gadai (rahn) menurut bahasa artinya tetap dan berkesinambungan, atau disebut jug dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syari’at islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagaian manfaat barang tersebut.
2. Dalil yang memperbolehkan akad gadai
Landasan hukum islam tentang gadai adalah boleh berdasarkan al-Qur’an surat Al-baqoroh: 283, yaitu “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S al- baqoroh: 283).
Landasan hukum yang ke-2 dari riwayat hadis. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas, berkata: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di madinah, sewaktu beliau mengutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau.” (H.R Ahmad, Bukhori, Nasa’i, Ibnu Majah).
Para ulama’ bersepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa syari’at tersebut diberlakukan bagi orang yang tidak berpergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah saw, terhadap orang yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan dalam ayat di atas, maka tergantung kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tersebut.
3. Hukum pemanfaatan barang gadai
Ada beberapa pendapat para ulama’ yang boleh tidaknya memanfatkan barang gadai, yaitu:
a. Menurut ulama’ syafi’iyah
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Menurut ulama syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun jaminan) itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).Dalam hadist Rasullah Saw, yang artinya:“Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Berdasarkan hadist diatas, menurut ulama Syaf’iyah bahwa barang gadai hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai, sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin. Dengan demikian, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan adalah milik rahin. Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
b. Pendapat ulama’ malikiyah
Madzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan barang (jaminan) untuk dipegangkan oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika barang sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.
Murtahin hanya dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang gadai dengan beberapa syarat: 1) Hutang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat terjadi seperti orang menjual barang dengan tangguh, kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan hutangnya maka hal ini diperbolehkan. 2) Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya. 3) Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal. Landasan hukumnya adalah hadist Nabi Muhammad Saw. Yang artinya:“Dari Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Hewan sesorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemilinya”.(HR.Bukhari).
c. Pendapat ulama’ hanabilah
Menurut ulama Hanabilah syarat bagi murtahin untuk mengambil barang gadai yang bukan berupa hewan adalah:
1) Ada izin dari pemilik barang (rahin) .
2) Adanya gadai bukan sebab menghutangkan, Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah, kebun, dan lain sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya. Dalam persoalan barang jaminan, yaitu untuk keselamatn pinjaman jenis qard, tidak di izinkan untuk memanfaatkan barang jaminan karena hal ini dapat di samakan dengan riba, begitu juga penggadai tidak harus menggunakan barang jaminan tanpa seizin pemegang gadai.
Dalil yang mendasar yang membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun) yang dapat ditunggangi adalah hadist Nabi Saw yang artinya: “Barang gadai (marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susunya diminum, dengan nafkahnya abapila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR.Bukhari).
d. Pendapat ulama’ hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadist Nabi Saw yang artinya: Abu Shalih dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Barang Jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) dikuasai oleh penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin), maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (Rahin). Imam Hanafi menambahkan, bahwa pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya.
4. Adapun syarat dan rukun gadai adalah sebagai berikut:
- Rukun gadai
1). Sighat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang
menerima gadai (murtahin).
3). Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Utang (marhun bih).
- Syarat syah gadai:
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
4. Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang (murtahin) atau wakilnya.
Dewan Syari’ah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini, yaitu dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip, ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/II/2002. Namun, ada sedikit ketentuan khusus mengenai rahn ini, sebagai berikut:
1). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
2). Ongkos tersebut besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan.
3). Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
Syarat barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama’ ahli fiqih adalah sebagai berikut:
1. Jaminan itu harus dapat di jual dan nulainya seimbang dengan besarnya hutang.
2. Jaminan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat islam.
3. Jaminan harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
4. Jaminan harus milik debitor (orang yang berhutang) itu sendiri.
5. Jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
6. Jaminan itu harus berupa barang yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat.
7. Jaminan dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa gadai itu baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan kreditor, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh debitor. Apabila barang jaminan itu berupa benda yang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka yang diberikan kepada kreditor cukup dengan sertifikat tanah atau surat-surat rumah. Syarat yang terakhir (kesempurnaan gadai) oleh ulama’ fiqih disebut dengan Al-qabd Al-marhun (barang jaminan secara hukum dikuasai atau di pegang oleh kreditor). Apabila debitor tidak bisa melunasi utang kepada kreditor maka barang jaminan dapat dijual untuk melunasi hutang, jika masih ada kelebihan dari hasil penjualan, maka kelebihan hasil penjualan jaminan itu wajib dikembailikan kepada pemiliknya. Tapi jika debitor tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang jaminan tersebut. Dan apabila masih kurang nilainya maka debitor wajib melunasi sisa hutangnya.
- Berakhirnya akad gadai, gadai batal apabila:
1. Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn batal jika rahin meninggal sebelum menyerahkan jaminan kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin sebelum mengembalikan jaminan kepada rahin.
2. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dipandang habis apabila murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin.hal ini terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya dengan cara tidak memegang barang jaminan.
3. Rahin membatalkan gadai
Rahin membatalkan gadai karena tidak jadi melakukan pinjaman kepada murtahin. Karena rahin telah memperoleh dana.
c. Kesimpulan
Gadai dalam Islam merupakan salah satu instrumen jasa keuangan dalam sistem perekonomian Islam yang bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana secara cepat melalui prinsip-prinsip syari’ah. Dan pemanfaatan barang gadai, ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini ada yang membolehkan ada yang tidak, tapi pada dasarnya barang jaminan tidak boleh diambil manfaatnya oleh kreditor ataupun debitor kecuali apabila ada izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Pemanfaatan tersebut merupakan biaya atas pemeliharaan barang jaminan, sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa pemanfaatan itu haruslah mengikuti perbandingan perbelanjaan, jika tidak demikian, ia dianggap sama dengan riba. Sedangkan biaya penyimpanan atau pemeliharaan barang jaminan menurut kebanyakan ulama’ menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan (balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaiannya.


DAFTAR PUSTAKA
• Muslehudin Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, PT Renika Cipta, Jakarta. 1994
• Remy Sutan SJ, Perbankan IslamPT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 1999.
• Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara ,Jakarta. 2006.
• Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003.
• Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta. 1992.
• Syafei Racmat, Fiqh Muamalah Cetakan III, Pustaka Setia ,Bandung,. 2006

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal