Rabu, 04 Mei 2011

Sosiologi Agama.....

Diposting oleh Zieza Cubby di 07.46
INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
a. Pendahuluan
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap prilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi,dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para taswauf. Bukti diatas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agam dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya.Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta kultural, hancurnya bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna, dan masing-asing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis” dalam ketidak pastian, ketidak budayaan, dan kelangkaan untuk masing-masing kelompok.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail menngenai interelasi agama dan masyarakat dalam pembahasan berikut.
b. Pembahasan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (relegious).
Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), yaitu ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumukan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Sedangkan, definisi eksklusif yaitu membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.
Selain pendekatan fenomenologis, digunakan juga pendekatan fungsional, yaitu agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi.
Guire selanjutnya mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Menurut pandangan Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama, karena berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat memiliki bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban mereka. Dan terdapat juga alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hubungan patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
Emile Durkheim (1858-1917) merupakan salah seorang perintis fungsionalisme modern yang sangat penting. Sumbangan terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary Form of The Relegious Life. Durkheim mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat primitif merupakan suku kekuatan integrasi yang sangat kuat. Hal itu sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sosial sebagaimana dipahami oleh fungsionalis. Durkheim mengartikan nilai sebagai “ konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “keyakinan yang mengshahihkan keberadaan dan pentingnya struktur sosial tertentu serta jenis prilaku tertentu yang ada dalam struktur sosial tersebut”. Sebagai institusi yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik. Sistem pendidikan umum pada masyarakat modern mempunyai fungsi yang sama dengan agama pada masyarakat tradisional karena menstramisikan nilai-nilai masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat, tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, yang dari pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau beberapa tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan kelompok itu terarah atau terpimpin berdasarkan norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok.
Peranan sosial agama sendiri harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari prilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama. Prilaku yang baik mungkin tumbuh dari pandangan dunia semacam itu, namun tanggapan relegius beranjak lebih jauh dari pada sekedar mengikuti norma-norma prilaku konvensional.
Banyak sosiologi tertarik dengan interaksi antara agama dan masyarakat. Sama seperti interaksi yang lain, interaksi ini merupakan pertemuan dua arah, dan kadang-kadang sulit sekali menentukan batas mana yang relegius dan mana yang tidak relegius. Jadi, pengertian tentang keadilan dan tentang kehidupan keluarga bangsa amerika telah dipengaruhi oleh agama Keristen Yahudi. Dilain pihak, agama orang Amerika juga telah dipengaruhi oleh kehidupan politis dan ekonomis masyarakatnya. Mereka yang berusaha untuk memahami hakekat masyarakat nampak sangat terdorong untuk menjelaskan peran agama, baik mereka menyebut diri “relegius” atau tidak. Mereka menganggap agama sebagai pengaruh utama, sedang yang lainnya menganggap agama itu kuno atau bahkan membahayakan, namun lepas dari penilaian ini, agama terlalu lalai untuk dilalaikan.
c. Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang seluruh realitas. Agama merupakan naungan bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi (summum bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan diakhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, beradab dan manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup hewan dan lainnya. Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan) di pengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya. Keyakinan agama yang sifatnya pribadi dan individual bisa berupa tindakan kelompok. Keyakinan itu menjadi sosial disebabkan oleh terutama hakikat agama itu sendiri yang salah satu ajarannya adalah hidup kebersamaan dengan orang lain.











DAFTAR PUSTAKA
• Kahmad Dadang, M.Si, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2009.
• Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Galio Indonesia: Jakarta. 2002.
• Nottingham Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta, 1994.
• Horton Paul. Dan Chester L Hunt, Sosiologi (terjemahan oleh Drs, Aminuddin Ram dan Drs Tita sobari), Erlangga: Jakarta.

0 komentar on "Sosiologi Agama....."

Posting Komentar

INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
a. Pendahuluan
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap prilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi,dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para taswauf. Bukti diatas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agam dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya.Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta kultural, hancurnya bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna, dan masing-asing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis” dalam ketidak pastian, ketidak budayaan, dan kelangkaan untuk masing-masing kelompok.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail menngenai interelasi agama dan masyarakat dalam pembahasan berikut.
b. Pembahasan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (relegious).
Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), yaitu ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumukan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Sedangkan, definisi eksklusif yaitu membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.
Selain pendekatan fenomenologis, digunakan juga pendekatan fungsional, yaitu agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi.
Guire selanjutnya mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Menurut pandangan Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama, karena berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat memiliki bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban mereka. Dan terdapat juga alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hubungan patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
Emile Durkheim (1858-1917) merupakan salah seorang perintis fungsionalisme modern yang sangat penting. Sumbangan terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary Form of The Relegious Life. Durkheim mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat primitif merupakan suku kekuatan integrasi yang sangat kuat. Hal itu sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sosial sebagaimana dipahami oleh fungsionalis. Durkheim mengartikan nilai sebagai “ konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “keyakinan yang mengshahihkan keberadaan dan pentingnya struktur sosial tertentu serta jenis prilaku tertentu yang ada dalam struktur sosial tersebut”. Sebagai institusi yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik. Sistem pendidikan umum pada masyarakat modern mempunyai fungsi yang sama dengan agama pada masyarakat tradisional karena menstramisikan nilai-nilai masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat, tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, yang dari pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau beberapa tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan kelompok itu terarah atau terpimpin berdasarkan norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok.
Peranan sosial agama sendiri harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari prilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama. Prilaku yang baik mungkin tumbuh dari pandangan dunia semacam itu, namun tanggapan relegius beranjak lebih jauh dari pada sekedar mengikuti norma-norma prilaku konvensional.
Banyak sosiologi tertarik dengan interaksi antara agama dan masyarakat. Sama seperti interaksi yang lain, interaksi ini merupakan pertemuan dua arah, dan kadang-kadang sulit sekali menentukan batas mana yang relegius dan mana yang tidak relegius. Jadi, pengertian tentang keadilan dan tentang kehidupan keluarga bangsa amerika telah dipengaruhi oleh agama Keristen Yahudi. Dilain pihak, agama orang Amerika juga telah dipengaruhi oleh kehidupan politis dan ekonomis masyarakatnya. Mereka yang berusaha untuk memahami hakekat masyarakat nampak sangat terdorong untuk menjelaskan peran agama, baik mereka menyebut diri “relegius” atau tidak. Mereka menganggap agama sebagai pengaruh utama, sedang yang lainnya menganggap agama itu kuno atau bahkan membahayakan, namun lepas dari penilaian ini, agama terlalu lalai untuk dilalaikan.
c. Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang seluruh realitas. Agama merupakan naungan bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi (summum bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan diakhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, beradab dan manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup hewan dan lainnya. Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan) di pengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya. Keyakinan agama yang sifatnya pribadi dan individual bisa berupa tindakan kelompok. Keyakinan itu menjadi sosial disebabkan oleh terutama hakikat agama itu sendiri yang salah satu ajarannya adalah hidup kebersamaan dengan orang lain.











DAFTAR PUSTAKA
• Kahmad Dadang, M.Si, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2009.
• Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Galio Indonesia: Jakarta. 2002.
• Nottingham Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta, 1994.
• Horton Paul. Dan Chester L Hunt, Sosiologi (terjemahan oleh Drs, Aminuddin Ram dan Drs Tita sobari), Erlangga: Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal