Minggu, 02 Januari 2011

Nur muhammad pandangan al-alusi dan ulama' -ulama' mufassir

Diposting oleh Zieza Cubby di 04.32
NUR MUHAMMAD PANDANGAN al-ALUSI
Pendahuluan
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam 'aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep 'aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterima dan diakui oleh ijma' (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama' tasawwuf (awliya' Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari al-Quran dan Hadits Nabi sallallahu 'alayhi wasallam. Konsep 'aqidah Nur Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu 'alayhi wasallam adalah makhluk pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta'ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Menurut Dr. Abdul al-Qadir Mahmud, riwayat tentang Nur Muhammad itu pertama kali tersebar dimasa Imam Ja`far al-Shadiq (148), kemudian berkembang luas dikalangan kaum Syi`ah Ghullat. Menurut mereka Nur Muhammad adalah qadim.
Sebelum membahas lebih jauh jauh tentang apa itu Nur Muhammad,maka terlebih dahulu kita mengetahui tentang hakekat mengenal yang hakiki, yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan dengan penganalisaan kabar berita dari membaca buku maupun akal fikiran saja. Tasawuf mengatakan bahwa akal bisa menjadi pendorong sekaligus juga bisa menjadi penghalang atau hijab terhadap diri dalam beribadah seandainya ia tidak bisa menerima input/informasi yang sempurna dan benar.
Dari penjabaran diatas menunjukkan bahwa betapa perlunya kehadiran Muhammad s.a.w dalam menegakkan risalah yang benar tentang pencipta (Allah), ciptaan (makhluk), asal mula kejadian penciptaan,tujuan penciptaan, dan peran ciptaan terhadap penciptanya. Risalah inilah yang dapat menyadarkan manusia kepada Al-Haq(Allah swt).
Dan dalam kesempatan ini akan diuaraikan sedikit tentang Nur muhammad menurut pandangan Al-alusi.





Biografi al-Alusi
Nama lengkap Al-Alūsi adalah Abū Śanā' Syihab al-Dīn al-Sayyid Mahmūd Afandi Al-Alūsi al-Bagdadi. Laqob beliau adalah Abu Tsana` dan Abu fadlol, sedangkan kunyahnya Beliau adalah syihabuddin, dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya'ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Irak. Beliau termasuk ulama besar di Irak yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usūl (ilmu pokok) maupun ilmu furū’ (ilmu cabang).
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjāniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur'an yang kemudian dikenal dengan tafsir Rūh Al-Ma’āni.
Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu, jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.
Sejarah munculnya istilah Nur Muhammad
Awal munculnya istilah Nur Muhammad adalah pada masa Nabi Muhammad s.a.w, Sebagaimana yang telah nabi jelaskan dalam sabdanya ketika ditanya oleh sahabat Jabir tentang permulaan para makhluq, Nabi berkata: Wahai Jabir Allah Ta`ala telah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya dzatNya sebelum segala sesuatu. Meskipun para ulama berselisih untuk menshohihkan, mendho`ifkan, dan bahkan memaudhu`kan hadis ini, akan tetapi pada kenyataannya hal itu pasti kebenarannya, dan tidak ada alasan untuk mengingkari istilah Nur Muhammad itu muncul sejak masa Nabi Muhammad s.a.w.
Ali Chaudes Kevich berkata istilah Nur Muhammad bukanlah suatu bid`ah atau perbuatan yang mengada-ada dalam sejarah islam, bahkan hal tersebut bedasarkan firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 46 yang dalam ayat tersebut menjelaskan sifat nabi secara jelas bahwa Nabi adalah "سراج منير" yang artinya cahaya yang menyinari, dan bahkan dalam surat al-Maidah ayat 15 disebutkan secara hakekat atau nyata.... 

4 ô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# Ö‘qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B ÇÊÎÈ
Lafadz Nur  dalam ayat ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ahli tafsir adalah Nabi Muhammad.
Pembahasan Nur Muhammad pandangan al-Alusi
Dalam Tafsir Ruh al-ma’ani karangan al-Alusi tentang uraian yang berkenaan dengan Nur Muhammad dalam surat al-Maidah ayat 15 ialah sebagai berikut:
Dalam “Tafsir Ruh al-Ma’ani” karangan Al-Alusi (w.1170 H.), tentang ayat yang dimaksud “telah datang kepada kamu dari Allah Nur dan kitab yang nyata” (5.15), terdapat penjelasan bahawa “Nur itu Nur (yang agung), Nur dari segala Nur, dan Nabi yang terpilih yaitu Nabi Muhammad saw. Pandangan ini yang dipegang oleh Qatadah, dan al-Zajjaj (ahli bahasa yang terkenal) yang memilih pendapat ini…Dan tidak jauh (dari kebenaran) bahwa yang dimaksudkan nur dan kitab yang nyata itu adalah (kedua-duanya merujuk kepada ) Nabi saw, dan penyambung yang digunakan itu adalah seperti penyambung yang dikatakan oleh al-Jubba’I (ulama Mu’tazilah yang terkenal) bahwa yang dimaksud keduanya itu adalah Nur dan kitab itu merujuk kepada al-Qur’an , adapun pandangan al-Alusi kedua-duanya merujuk kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan mungkin banyak yang  merasa ragu untuk menerima pendapat ini dari segi ibaratnya, maka biarkanlah itu dipandang dari segi isyarat (yaitu kalau banyak yang tidak menerima pendapat saya (al-alusi) ini dari segi ibaratnya biarlah itu boleh diterima dari segi isayaratnya)…” .
Dalam kitab yang sama, (Ruh al-Ma’ani, juz IX.100) berhubungan dengan ayat yang dimaksud “Tidaklah kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam”, beliau memberikan uraian bahwa: “Hakikat keadaan Nabi saw sebagai rahmat untuk semua yang wujud (“lil-jami’”) itu ialah dengan iktibar bahwa Baginda adalah penengah –wasitah- bagi limpahan rahmat Ilahi (“wasitah al-faid al-ilahi”) atas sekelian makhluk (“al-mumkinat”) dari awalnya, dan itu ialah karena Nur Baginda saw adalah makhluk yang paling awal; maka dalam hadis dinyatakan “perkara awal yang dijadikan Allah ta’ala ialah nur Nabi, engkau wahai Jabir…” dan datang hadis yang menyebutkan “Allah ta’ala adalah Maha pemberi dan aku adalah Pembagi”.Di kalangan ulama sufi – Allah menyucikan asrar mereka , ada terdapat uraian berkenaan dengan hal yang demikian itu yang lebih lagi daripada ini.”
Kemudian al-Alusi  menukil pendapat ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Miftah al-Sa’adah”. Katanya “Kalaulah tidak kerana nubuwwat tidak akan ada langsung dalam alam ini ilmu yang bermanfaat, amal shalih, dan kebaikan dalam hidup manusia, dan tidak ada asas bagi kerajaan, dan manusia akan berkedudukan seperti hewan dan binatang buas serta anjing yang memudaratkan, yang setengahnya berseteru dengan yang lainnya.
Maka setiap perkara kebaikan di alam ini adalah daripada kesan nubuwwah, dan tiap-tiap keburukan yang terjadi di alam ini atau yang akan terjadi adalah karena sebab terselindungnya kesan nubuwwah dan pengkajian tentangnya. Maka alam ini diperumpamakan jasad dan rohnya adalah nubuwwah, maka tanpa roh jasad itu tidak akan ada apa-apanya; kerana itu (bila tidak ada langsung kesan nubuwwah dan pengkajiannya) bumi akan bergoncang, makhluk yang berada di atasnya akan binasa, maka tidak ada dukungan untuk hidup di alam melainkan dengan kesan-kesan nubuwwah yaitu pengajaran daripadanya). (“Ruh al-Ma’ani”. juz 9, hal. 100).
Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H). dengan kitabnya Sirr al-Asrar fi Ma Yuhtahu ilaihi al-Abrar (hal.12-14 edisi Lahore) yang menyatakan: Ia memberi dalil bahawa Baginda adalah puncak bagi segala sesuatu yang maujud, dan Allah Maha Mengetahui. Haqqi Ismail, (w..1137) menukil hadith itu dalam tafsirnya Ruh al-Bayan Ibn Hajar al-Haitami (w.974 H) dengan Fatawa Hadithiyyahnya Syaikh Ismail al-Dihlawi (w..1246 H) dengan risalahnya Yek Rauzah di mana beliau menyatakan: Sebagaimana yang diisyaratkan oleh riwayat: perkara yang awal dijadikan Allah adalah Nurku. Sulaiman al-Jamal (w.1204 H) yang menukil hadith tentang Nur Muhammad awal-awal dijadikan Allah, dalam syarahnya ke atas al-Busiri berjudul al-Futuhat alAhmadiyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah. ‘Abd al-Qadir al-Jili dengan Namus al-A’zam wa al.-Qamus al-Aqdam fi Ma’rifat Qadar al-Bani sallka’lahu ‘alaihi wa sallam menyebut hadith nur Muhammad. (‘Umar bin Ahmad, w.1299) dalam syarahnya terhadap al-Busiri menyebutnya. Maliki al-Hasani (Muhammad ibn ‘Alawi) menyebutnya dalam syarahnya terhadap kitab al-Qari Hasyiyah Al-Maurid al-Rawi fi Maulid al-Nabi. Pada halaman 40 beliau menyatakan “Sanad Jabir adalah sahih tanpa pertikaian, tetapi ulama berbeda pendapat tentang teksnya karena khususiahnya, Baihaqi juga meriwayatkan hadith itu dengan beberapa kelainan.”
Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (5:15) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad saw, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
-    Mengenai surat An-nur ayat 35
Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut) adalah Nabi saw karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
 Ibn Katsir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip dari Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad saw sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
Kesimpulan tentang Nur Muhammad saw.
Dari pembentangan riwayat-riwayat di atas berdasarkan dokumentasi para mufassirin dan muhadditsin yang merupakan imam-imam dalam bidangnya, ada beberapa kesimpulan yang boleh dibuat. Antaranya ialah: bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sudah ada hakikatnya, nurnya, sebelum sekelian makhluk dijadikan. Bahkan nurnyalah yang merupakan makhluk pertama yang dijadikan oleh Tuhan, sebagai kekasihNya. Ia juga puncak bagi sekelian makhluk yang lain, baik alam tinggi atau alam bawah atau alam rendahnya, alam yang boleh dipandang dengan mata atau alam yang tidak boleh dipandang dengan mata. Ia makhluk yang terawal dicipta dan yang terkemudian sekali dibangkit dengan jasad dan rohnya dalam sejarah alam ini. Namun kewujudannya sebagai nabi dan rasul diketahui oleh sekalian nabi dan rasul dalam seluruh sejarah umat manusia, antaranya, khususnya jelas dari hadis-hadis yang berkenaan dengan Isra’ dan Mi’raj yang banyak dinukil oleh ibn Kathir dalam Tafsirnya berkenaan dengan ayat awal Surah bani Isra’il.
Kalau terlintas bahwa ini adalah tidak munasabah pada akal, maka banyak perkara yang boleh dikatakan tidak munasabah pada akal yang berfikir secara ‘biasa’, misalnya teori quantum tentang dunia yang ada ini dengan benda-bendanya tidak “pejal’ bahkan ia samaada bersifat sebagai gelombang atau zarrah yang tidak menentu sifatnya, sama ada gelombang atau zarrah. Yang kelihatan pejal, keras pada pandangan mata, pada neraca teori quantum adalah tidak demikian. Kalau mengikut fikiran secara ‘biasa” e=mc2 adalah tidak munasabah; tetapi pada ahlinya ia bukan sahaja ‘munasabah’ tetapi ada kebenarannya yang sangat nyata. Atau lihat sahaja benih manusia yang terpancar ke dalam rahim, kemudian selepas sembilan bulan lebih kurang ia menjadi manusia kecil yang bergerak, hidup, demikian seterusnya, kemudian berkata-kata dalam beberapa bulan. Orang boleh berkata sekarang: itu memang demikian. Ya, memang demikian yang berlaku dalam sunnah Tuhan. Demikian pula kita boleh sebutkan demikian sunnah Tuhan dalam hubungan dengan kejadian alam dari pada Nur Nabi kita s.a.w.
Kalau terlintas pada kita tentang hal yang demikian berlawanan dengan kejadian manusia, dan Nabi juga, dari tanah, maka perspektifnya ialah: pada hakikatnya tanah itupun asalnya dari ‘nur’, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk tanah dan lainnya. Tetapi asalnya dari zat-sebelum-benda yang satu itu, nur itu, sebagaimana yang diuraikan oleh kosmologi ulama Sunni kita. Allah memberi rahmat kepada mereka.
Dengan itu ‘nur’ nabi itu bukan saja maknawi, secara bahasa misalnya, tetapi memang hakikatnya ia nur, yang melintasi sekelian nur, sehingga ia makhluk yang berupa nur yang  menjadikan nur-nur yang lain dan zat-zat yang lain.
Kalau sekarang mereka berbicara tentang alam dari segi elektron, proton, neutron, ‘quarks’, ‘photon’ dan apa lagi, maka pada kita, sekalian daripada itu semua, dasar segalanya adalah asalnya ‘nur’ nabi kita. Yang lain-lain itu, bila benar pada pengamatan ilmiah yang mentaati syarat-syaratnya boleh diterima.
Kalau terlintas untuk kita siapa membuat tanggapan bahwa ini pantheisma, ini juga tidak timbul, sebab pantheism adalah falsafah Barat yang baru timbul dalam abad ke IX yang memaksudkan serba-Tuhan, semuanya juzuk-juzuk daripada Tuhan, walaupun hal ini bukan demikian. Yang diajarkan ialah bahwa Tuhan menjadikan nur Baginda sebagai makhluk terawal, yang menjadi puncak segalanya kemudian Baginda muncul dengan jasadnya dan rohnya bila tiba gilirannya di akhir zaman.
Inilah antara yang terlintas pada penulis yang kurang pengetahuan ini untuk menukilkan riwayat-riwayat dari puncak-puncak para ulama yang muktabar dalam umat ini untuk kefahaman dan pegangan bersama. Mudah-mudahan kita semua mendapat rahmat dan barakah dariNya.

0 komentar on "Nur muhammad pandangan al-alusi dan ulama' -ulama' mufassir"

Posting Komentar

NUR MUHAMMAD PANDANGAN al-ALUSI
Pendahuluan
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam 'aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep 'aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterima dan diakui oleh ijma' (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama' tasawwuf (awliya' Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari al-Quran dan Hadits Nabi sallallahu 'alayhi wasallam. Konsep 'aqidah Nur Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu 'alayhi wasallam adalah makhluk pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta'ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Menurut Dr. Abdul al-Qadir Mahmud, riwayat tentang Nur Muhammad itu pertama kali tersebar dimasa Imam Ja`far al-Shadiq (148), kemudian berkembang luas dikalangan kaum Syi`ah Ghullat. Menurut mereka Nur Muhammad adalah qadim.
Sebelum membahas lebih jauh jauh tentang apa itu Nur Muhammad,maka terlebih dahulu kita mengetahui tentang hakekat mengenal yang hakiki, yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan dengan penganalisaan kabar berita dari membaca buku maupun akal fikiran saja. Tasawuf mengatakan bahwa akal bisa menjadi pendorong sekaligus juga bisa menjadi penghalang atau hijab terhadap diri dalam beribadah seandainya ia tidak bisa menerima input/informasi yang sempurna dan benar.
Dari penjabaran diatas menunjukkan bahwa betapa perlunya kehadiran Muhammad s.a.w dalam menegakkan risalah yang benar tentang pencipta (Allah), ciptaan (makhluk), asal mula kejadian penciptaan,tujuan penciptaan, dan peran ciptaan terhadap penciptanya. Risalah inilah yang dapat menyadarkan manusia kepada Al-Haq(Allah swt).
Dan dalam kesempatan ini akan diuaraikan sedikit tentang Nur muhammad menurut pandangan Al-alusi.





Biografi al-Alusi
Nama lengkap Al-Alūsi adalah Abū Śanā' Syihab al-Dīn al-Sayyid Mahmūd Afandi Al-Alūsi al-Bagdadi. Laqob beliau adalah Abu Tsana` dan Abu fadlol, sedangkan kunyahnya Beliau adalah syihabuddin, dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya'ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Irak. Beliau termasuk ulama besar di Irak yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usūl (ilmu pokok) maupun ilmu furū’ (ilmu cabang).
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjāniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur'an yang kemudian dikenal dengan tafsir Rūh Al-Ma’āni.
Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu, jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.
Sejarah munculnya istilah Nur Muhammad
Awal munculnya istilah Nur Muhammad adalah pada masa Nabi Muhammad s.a.w, Sebagaimana yang telah nabi jelaskan dalam sabdanya ketika ditanya oleh sahabat Jabir tentang permulaan para makhluq, Nabi berkata: Wahai Jabir Allah Ta`ala telah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya dzatNya sebelum segala sesuatu. Meskipun para ulama berselisih untuk menshohihkan, mendho`ifkan, dan bahkan memaudhu`kan hadis ini, akan tetapi pada kenyataannya hal itu pasti kebenarannya, dan tidak ada alasan untuk mengingkari istilah Nur Muhammad itu muncul sejak masa Nabi Muhammad s.a.w.
Ali Chaudes Kevich berkata istilah Nur Muhammad bukanlah suatu bid`ah atau perbuatan yang mengada-ada dalam sejarah islam, bahkan hal tersebut bedasarkan firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 46 yang dalam ayat tersebut menjelaskan sifat nabi secara jelas bahwa Nabi adalah "سراج منير" yang artinya cahaya yang menyinari, dan bahkan dalam surat al-Maidah ayat 15 disebutkan secara hakekat atau nyata.... 

4 ô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# Ö‘qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B ÇÊÎÈ
Lafadz Nur  dalam ayat ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ahli tafsir adalah Nabi Muhammad.
Pembahasan Nur Muhammad pandangan al-Alusi
Dalam Tafsir Ruh al-ma’ani karangan al-Alusi tentang uraian yang berkenaan dengan Nur Muhammad dalam surat al-Maidah ayat 15 ialah sebagai berikut:
Dalam “Tafsir Ruh al-Ma’ani” karangan Al-Alusi (w.1170 H.), tentang ayat yang dimaksud “telah datang kepada kamu dari Allah Nur dan kitab yang nyata” (5.15), terdapat penjelasan bahawa “Nur itu Nur (yang agung), Nur dari segala Nur, dan Nabi yang terpilih yaitu Nabi Muhammad saw. Pandangan ini yang dipegang oleh Qatadah, dan al-Zajjaj (ahli bahasa yang terkenal) yang memilih pendapat ini…Dan tidak jauh (dari kebenaran) bahwa yang dimaksudkan nur dan kitab yang nyata itu adalah (kedua-duanya merujuk kepada ) Nabi saw, dan penyambung yang digunakan itu adalah seperti penyambung yang dikatakan oleh al-Jubba’I (ulama Mu’tazilah yang terkenal) bahwa yang dimaksud keduanya itu adalah Nur dan kitab itu merujuk kepada al-Qur’an , adapun pandangan al-Alusi kedua-duanya merujuk kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan mungkin banyak yang  merasa ragu untuk menerima pendapat ini dari segi ibaratnya, maka biarkanlah itu dipandang dari segi isyarat (yaitu kalau banyak yang tidak menerima pendapat saya (al-alusi) ini dari segi ibaratnya biarlah itu boleh diterima dari segi isayaratnya)…” .
Dalam kitab yang sama, (Ruh al-Ma’ani, juz IX.100) berhubungan dengan ayat yang dimaksud “Tidaklah kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam”, beliau memberikan uraian bahwa: “Hakikat keadaan Nabi saw sebagai rahmat untuk semua yang wujud (“lil-jami’”) itu ialah dengan iktibar bahwa Baginda adalah penengah –wasitah- bagi limpahan rahmat Ilahi (“wasitah al-faid al-ilahi”) atas sekelian makhluk (“al-mumkinat”) dari awalnya, dan itu ialah karena Nur Baginda saw adalah makhluk yang paling awal; maka dalam hadis dinyatakan “perkara awal yang dijadikan Allah ta’ala ialah nur Nabi, engkau wahai Jabir…” dan datang hadis yang menyebutkan “Allah ta’ala adalah Maha pemberi dan aku adalah Pembagi”.Di kalangan ulama sufi – Allah menyucikan asrar mereka , ada terdapat uraian berkenaan dengan hal yang demikian itu yang lebih lagi daripada ini.”
Kemudian al-Alusi  menukil pendapat ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Miftah al-Sa’adah”. Katanya “Kalaulah tidak kerana nubuwwat tidak akan ada langsung dalam alam ini ilmu yang bermanfaat, amal shalih, dan kebaikan dalam hidup manusia, dan tidak ada asas bagi kerajaan, dan manusia akan berkedudukan seperti hewan dan binatang buas serta anjing yang memudaratkan, yang setengahnya berseteru dengan yang lainnya.
Maka setiap perkara kebaikan di alam ini adalah daripada kesan nubuwwah, dan tiap-tiap keburukan yang terjadi di alam ini atau yang akan terjadi adalah karena sebab terselindungnya kesan nubuwwah dan pengkajian tentangnya. Maka alam ini diperumpamakan jasad dan rohnya adalah nubuwwah, maka tanpa roh jasad itu tidak akan ada apa-apanya; kerana itu (bila tidak ada langsung kesan nubuwwah dan pengkajiannya) bumi akan bergoncang, makhluk yang berada di atasnya akan binasa, maka tidak ada dukungan untuk hidup di alam melainkan dengan kesan-kesan nubuwwah yaitu pengajaran daripadanya). (“Ruh al-Ma’ani”. juz 9, hal. 100).
Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H). dengan kitabnya Sirr al-Asrar fi Ma Yuhtahu ilaihi al-Abrar (hal.12-14 edisi Lahore) yang menyatakan: Ia memberi dalil bahawa Baginda adalah puncak bagi segala sesuatu yang maujud, dan Allah Maha Mengetahui. Haqqi Ismail, (w..1137) menukil hadith itu dalam tafsirnya Ruh al-Bayan Ibn Hajar al-Haitami (w.974 H) dengan Fatawa Hadithiyyahnya Syaikh Ismail al-Dihlawi (w..1246 H) dengan risalahnya Yek Rauzah di mana beliau menyatakan: Sebagaimana yang diisyaratkan oleh riwayat: perkara yang awal dijadikan Allah adalah Nurku. Sulaiman al-Jamal (w.1204 H) yang menukil hadith tentang Nur Muhammad awal-awal dijadikan Allah, dalam syarahnya ke atas al-Busiri berjudul al-Futuhat alAhmadiyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah. ‘Abd al-Qadir al-Jili dengan Namus al-A’zam wa al.-Qamus al-Aqdam fi Ma’rifat Qadar al-Bani sallka’lahu ‘alaihi wa sallam menyebut hadith nur Muhammad. (‘Umar bin Ahmad, w.1299) dalam syarahnya terhadap al-Busiri menyebutnya. Maliki al-Hasani (Muhammad ibn ‘Alawi) menyebutnya dalam syarahnya terhadap kitab al-Qari Hasyiyah Al-Maurid al-Rawi fi Maulid al-Nabi. Pada halaman 40 beliau menyatakan “Sanad Jabir adalah sahih tanpa pertikaian, tetapi ulama berbeda pendapat tentang teksnya karena khususiahnya, Baihaqi juga meriwayatkan hadith itu dengan beberapa kelainan.”
Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (5:15) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad saw, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
-    Mengenai surat An-nur ayat 35
Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut) adalah Nabi saw karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
 Ibn Katsir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip dari Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad saw sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
Kesimpulan tentang Nur Muhammad saw.
Dari pembentangan riwayat-riwayat di atas berdasarkan dokumentasi para mufassirin dan muhadditsin yang merupakan imam-imam dalam bidangnya, ada beberapa kesimpulan yang boleh dibuat. Antaranya ialah: bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sudah ada hakikatnya, nurnya, sebelum sekelian makhluk dijadikan. Bahkan nurnyalah yang merupakan makhluk pertama yang dijadikan oleh Tuhan, sebagai kekasihNya. Ia juga puncak bagi sekelian makhluk yang lain, baik alam tinggi atau alam bawah atau alam rendahnya, alam yang boleh dipandang dengan mata atau alam yang tidak boleh dipandang dengan mata. Ia makhluk yang terawal dicipta dan yang terkemudian sekali dibangkit dengan jasad dan rohnya dalam sejarah alam ini. Namun kewujudannya sebagai nabi dan rasul diketahui oleh sekalian nabi dan rasul dalam seluruh sejarah umat manusia, antaranya, khususnya jelas dari hadis-hadis yang berkenaan dengan Isra’ dan Mi’raj yang banyak dinukil oleh ibn Kathir dalam Tafsirnya berkenaan dengan ayat awal Surah bani Isra’il.
Kalau terlintas bahwa ini adalah tidak munasabah pada akal, maka banyak perkara yang boleh dikatakan tidak munasabah pada akal yang berfikir secara ‘biasa’, misalnya teori quantum tentang dunia yang ada ini dengan benda-bendanya tidak “pejal’ bahkan ia samaada bersifat sebagai gelombang atau zarrah yang tidak menentu sifatnya, sama ada gelombang atau zarrah. Yang kelihatan pejal, keras pada pandangan mata, pada neraca teori quantum adalah tidak demikian. Kalau mengikut fikiran secara ‘biasa” e=mc2 adalah tidak munasabah; tetapi pada ahlinya ia bukan sahaja ‘munasabah’ tetapi ada kebenarannya yang sangat nyata. Atau lihat sahaja benih manusia yang terpancar ke dalam rahim, kemudian selepas sembilan bulan lebih kurang ia menjadi manusia kecil yang bergerak, hidup, demikian seterusnya, kemudian berkata-kata dalam beberapa bulan. Orang boleh berkata sekarang: itu memang demikian. Ya, memang demikian yang berlaku dalam sunnah Tuhan. Demikian pula kita boleh sebutkan demikian sunnah Tuhan dalam hubungan dengan kejadian alam dari pada Nur Nabi kita s.a.w.
Kalau terlintas pada kita tentang hal yang demikian berlawanan dengan kejadian manusia, dan Nabi juga, dari tanah, maka perspektifnya ialah: pada hakikatnya tanah itupun asalnya dari ‘nur’, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk tanah dan lainnya. Tetapi asalnya dari zat-sebelum-benda yang satu itu, nur itu, sebagaimana yang diuraikan oleh kosmologi ulama Sunni kita. Allah memberi rahmat kepada mereka.
Dengan itu ‘nur’ nabi itu bukan saja maknawi, secara bahasa misalnya, tetapi memang hakikatnya ia nur, yang melintasi sekelian nur, sehingga ia makhluk yang berupa nur yang  menjadikan nur-nur yang lain dan zat-zat yang lain.
Kalau sekarang mereka berbicara tentang alam dari segi elektron, proton, neutron, ‘quarks’, ‘photon’ dan apa lagi, maka pada kita, sekalian daripada itu semua, dasar segalanya adalah asalnya ‘nur’ nabi kita. Yang lain-lain itu, bila benar pada pengamatan ilmiah yang mentaati syarat-syaratnya boleh diterima.
Kalau terlintas untuk kita siapa membuat tanggapan bahwa ini pantheisma, ini juga tidak timbul, sebab pantheism adalah falsafah Barat yang baru timbul dalam abad ke IX yang memaksudkan serba-Tuhan, semuanya juzuk-juzuk daripada Tuhan, walaupun hal ini bukan demikian. Yang diajarkan ialah bahwa Tuhan menjadikan nur Baginda sebagai makhluk terawal, yang menjadi puncak segalanya kemudian Baginda muncul dengan jasadnya dan rohnya bila tiba gilirannya di akhir zaman.
Inilah antara yang terlintas pada penulis yang kurang pengetahuan ini untuk menukilkan riwayat-riwayat dari puncak-puncak para ulama yang muktabar dalam umat ini untuk kefahaman dan pegangan bersama. Mudah-mudahan kita semua mendapat rahmat dan barakah dariNya.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal