Senin, 03 Januari 2011

ibnu al-qayyim al-jauzy

Diposting oleh Zieza Cubby di 04.56

IBNU AL-QAYYIM AL-JAUZY
Ibnu Al-Qayyim atau nama asalnya adalah Shams al-Din Abu 'Abd Allah Muhammad bin Abu Bakr bin Sa'ad, lahir dalam lingkungan rumah yang penuh dengan keilmuan dan intlektualitas didaerah Zur’-Horan*-Dimakus pada tanggal, 7 shafar 691 H, yang bertepatan pada tanggal 05 januari 1292 M. Pada saat hilafah Abbasiah mengalami kemunduran[1] Beliau merupakan sosok intelektual yang sangat vokal, gamblang penjelasannya, sangat luas pengetahuannya yang meliputi bidang hukum Islam (fiqih), tafsir, hadits, ilmu `alat (nahwu), dan ilmu ushul fiqih. Beliau juga pernah menjadi ketua Madrasah Al-Jauziyyah, dan sudah lama menjadi staf pengajar di Madrasah Shadriyyah. Beliau menunaikan ibada haji beberapa kali dan tinggal di sekitar Kota Mekkah. Masyarakat Mekkah banyak membicarakan tentang kekhusyu`an beliau dalam menjalankan ibadah kepada Allah. beliau sangat sering melakukan thawaf yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kebanyakan orang.dan ayahnya merupakan guru pertama yang mengajar Ibn Qayyim tentang ilmu-ilmu asas Islam termasuk ilmu al-fara'id.
Ibnu Al-Qoyyim adalah salah satu murid Ibnu Taimiah yang paling terkenal. Dalam berbagai karya yang mengangkat tentang pemikiran Ibnu Taimiah seringkali nama beliau di sandingkan dengan nama gurunya itu begitu juga sebaliknya dalam setiap karya yang beliau tulis tidak lupa untuk mencantumkan nama gurunya sekaligus pemikirannya. Dan beliau juga seorang murid yang terbilang cukup lama bersanding dan Menimba ilmu kepada Ibnu Taimiah[2]. Ini senada dengan ungkapkan Ibnu Katsir yang dikutip oleh Dr. Mustafa Hilmi sendiri dalam karya beliau Al-bidâyah wa al-nihâyah bahwa beliau berkata: “ketika Ibnu Taimiah kembali dari negeri Mesir pada tahun 712 H. Beliau (Ibnu Al-Qayyim) selalu mendampingi gurunya dan menimba banyak ilmu sampai akhir hayat gurunya”.[3]
Bukanlah suatu hal yang aneh apabila Ibn Al-Qayyim menjelma sebagai sosok intelektual yang handal. Beliau dibesarkan dalam iklim yang sangat subur, ketika banyak ulama alim yang hidup pada waktu itu. Sejak dini beliau benar-benar sudah memberikan dirinya untuk menekuni dunia pendidikan baik di bidang fikih, bahasa, ilmu kalam dan tasawuf. Begitu juga dengan perhatian beliau dalam sejarah kenabian dan sejarah umum.[4] Ilmu-ilmu sosial yang beliau pelajari juga cukup memadai. Para pembaca karya-karya beliau akan dibuat tercengang mengetahui bahwa beliau juga sangat mahir dalam bidang sastra, ilmu nahwu dan kemahiran olah sya`ir. Beliau sangat menguasai berbagai keahlian dan pengetahuan yang sedang melejit pada zamannya. Beliau adalah seorang kutu buku dan mempunyai koleksi buku yang tidak terhitung jumlahnya. Sampai-sampai setelah beliau wafat, anak keturunannya menjual buku-buku koleksi tersebut dengan membutuhkan waktu beberapa tahun. Itu belum termasuk yang sengaja dijadikan koleksi pribadi bagi mereka sendiri.
Adapun gurunya sendiri (Ibnu Taimiah 661-728 H.) merupakan seorang yang selalu mempertahankan aliran-aliran/paham salaf. Beliau sering terjun membahas tentang pergulatan ilmu kalam serta membantah para filsuf lalu mebongkar, memperlihatkan ketidak pastian al-tasauf al-falsafi menurut pandangan Islam, dan mempertahankan al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah karena ia merupakan jalan dan cara yang benar dalam Islam, walau dalam sebagian kisah perjalanan akidah, beliau pernah terjebak dalam faham Al-Mujassimah sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam karyanya I’tiqad Ahlussunnah wa al jamaah” yang pada kenyataannya paham ini dianut oleh Wahabi kemudian mereka menisbatkannya kepada syaikhul islam Ibnu Taimiah untuk mencari lisensi kebenaran aqidah mereka’. Namun Ibnu Hajar Al-Asqolani (pengarang Fathu Al-Baari syarah Shahih Al-Buhari,773-852 H) dalam kitabnya Al-Dhurar Al-Kaminah fi a’yan Al-Miaah Al-Saminah telah memberi kesaksian bahwa Ibnu Taimiah telah meminta maaf kepada ulama dan bertaubat dari faham sesatnya tersebut. Kenyataan bertaubatnya Ibnu taimiah dari aqidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama’ pada zamannya yaitu syihab Al-Dien Al-Nuwairy wafat 733 H.[5]
 Ibnu Al-Qoyyim kemudian meneruskan paham dan pemikiran gurunya ini dalam sebagian besar permasalahan yang berhubungan dengan ilmu kalam dan fiqih termasuk paham al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah yang telah beliau terima dari gurunya yang kemudian beliau tetap mempertahankan juga dengan berbagai macam cara.[6]
Ibnu al-qayyim dikenal dengan sosok yang gemar dan progresis dalam menimba ilmu, koleksi bukunya mencapai seperpuluh dari apa yang belum terkoleksi oleh lainnya, termasuk buku-buku  koleksi dari salaf dan khalf, maka tidak asing lagi jika mendapati tulisanya dalam setiap objek kajian sebagai pemegang konsesi terhadap istila-istilah tasauf. Beliau juga seorang yang menangani sebuah perpustakaan yang besar dan selalu mengkaji buku-buku tersebut siang dan malam, dan sudah menjadi sebuah kepastian sebalum beliau menulis karya tulis beliau akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu apa yang akan beliau tulis. Semua karyanya lahir dari sebuah kesungguhan yang sudah nyata kebenarannya.
 Dan beliau juga adalah sosok yang sangat bekarakter dan berkepribadian bagus, khususnya dalam aspek ibadah sebab beliau mendapatkan kenikmatan hakiki dalam beribadah sampai-sampai Ibnu Katsir melukiskan tentang beliau: “ibnu Al-Qoyyim mempunyai ciri has tersendiri dalam shalatnya yaitu memperpanjangnya dan dalam setiap ruku’ dan shalatnya beliau senantiasa mengulur-ngulurnya, sehingga sebagian dari sahabat-sahabatnya banyak memprotes dan mencelanya, namun beliau tidak bergeming sedikitpun dari apa yang telah beliau lakukan”, pada zaman kami saya belum menemukan di dunia ini seseorang yang banyak ibadahnya dari pada Al-Jauzi lanjut ibnu katsir.


[1] . Hariz Al-Zar’i, Hâdi Al-arawâh Ilâ Bilâdi Al-aflâh
*Jarak dari Horan ke Dimaskus mencapai 55 Mil ke arah selatan timur
[2]. Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits, Dâr al-da’wah, al-Iskadariah, hal. 75
[3] . ibid. hal.75
[5] . Berandamadina.wordpress.com/2010/03/24
[6] . Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits. hal.75-76

0 komentar on "ibnu al-qayyim al-jauzy"

Posting Komentar


IBNU AL-QAYYIM AL-JAUZY
Ibnu Al-Qayyim atau nama asalnya adalah Shams al-Din Abu 'Abd Allah Muhammad bin Abu Bakr bin Sa'ad, lahir dalam lingkungan rumah yang penuh dengan keilmuan dan intlektualitas didaerah Zur’-Horan*-Dimakus pada tanggal, 7 shafar 691 H, yang bertepatan pada tanggal 05 januari 1292 M. Pada saat hilafah Abbasiah mengalami kemunduran[1] Beliau merupakan sosok intelektual yang sangat vokal, gamblang penjelasannya, sangat luas pengetahuannya yang meliputi bidang hukum Islam (fiqih), tafsir, hadits, ilmu `alat (nahwu), dan ilmu ushul fiqih. Beliau juga pernah menjadi ketua Madrasah Al-Jauziyyah, dan sudah lama menjadi staf pengajar di Madrasah Shadriyyah. Beliau menunaikan ibada haji beberapa kali dan tinggal di sekitar Kota Mekkah. Masyarakat Mekkah banyak membicarakan tentang kekhusyu`an beliau dalam menjalankan ibadah kepada Allah. beliau sangat sering melakukan thawaf yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kebanyakan orang.dan ayahnya merupakan guru pertama yang mengajar Ibn Qayyim tentang ilmu-ilmu asas Islam termasuk ilmu al-fara'id.
Ibnu Al-Qoyyim adalah salah satu murid Ibnu Taimiah yang paling terkenal. Dalam berbagai karya yang mengangkat tentang pemikiran Ibnu Taimiah seringkali nama beliau di sandingkan dengan nama gurunya itu begitu juga sebaliknya dalam setiap karya yang beliau tulis tidak lupa untuk mencantumkan nama gurunya sekaligus pemikirannya. Dan beliau juga seorang murid yang terbilang cukup lama bersanding dan Menimba ilmu kepada Ibnu Taimiah[2]. Ini senada dengan ungkapkan Ibnu Katsir yang dikutip oleh Dr. Mustafa Hilmi sendiri dalam karya beliau Al-bidâyah wa al-nihâyah bahwa beliau berkata: “ketika Ibnu Taimiah kembali dari negeri Mesir pada tahun 712 H. Beliau (Ibnu Al-Qayyim) selalu mendampingi gurunya dan menimba banyak ilmu sampai akhir hayat gurunya”.[3]
Bukanlah suatu hal yang aneh apabila Ibn Al-Qayyim menjelma sebagai sosok intelektual yang handal. Beliau dibesarkan dalam iklim yang sangat subur, ketika banyak ulama alim yang hidup pada waktu itu. Sejak dini beliau benar-benar sudah memberikan dirinya untuk menekuni dunia pendidikan baik di bidang fikih, bahasa, ilmu kalam dan tasawuf. Begitu juga dengan perhatian beliau dalam sejarah kenabian dan sejarah umum.[4] Ilmu-ilmu sosial yang beliau pelajari juga cukup memadai. Para pembaca karya-karya beliau akan dibuat tercengang mengetahui bahwa beliau juga sangat mahir dalam bidang sastra, ilmu nahwu dan kemahiran olah sya`ir. Beliau sangat menguasai berbagai keahlian dan pengetahuan yang sedang melejit pada zamannya. Beliau adalah seorang kutu buku dan mempunyai koleksi buku yang tidak terhitung jumlahnya. Sampai-sampai setelah beliau wafat, anak keturunannya menjual buku-buku koleksi tersebut dengan membutuhkan waktu beberapa tahun. Itu belum termasuk yang sengaja dijadikan koleksi pribadi bagi mereka sendiri.
Adapun gurunya sendiri (Ibnu Taimiah 661-728 H.) merupakan seorang yang selalu mempertahankan aliran-aliran/paham salaf. Beliau sering terjun membahas tentang pergulatan ilmu kalam serta membantah para filsuf lalu mebongkar, memperlihatkan ketidak pastian al-tasauf al-falsafi menurut pandangan Islam, dan mempertahankan al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah karena ia merupakan jalan dan cara yang benar dalam Islam, walau dalam sebagian kisah perjalanan akidah, beliau pernah terjebak dalam faham Al-Mujassimah sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam karyanya I’tiqad Ahlussunnah wa al jamaah” yang pada kenyataannya paham ini dianut oleh Wahabi kemudian mereka menisbatkannya kepada syaikhul islam Ibnu Taimiah untuk mencari lisensi kebenaran aqidah mereka’. Namun Ibnu Hajar Al-Asqolani (pengarang Fathu Al-Baari syarah Shahih Al-Buhari,773-852 H) dalam kitabnya Al-Dhurar Al-Kaminah fi a’yan Al-Miaah Al-Saminah telah memberi kesaksian bahwa Ibnu Taimiah telah meminta maaf kepada ulama dan bertaubat dari faham sesatnya tersebut. Kenyataan bertaubatnya Ibnu taimiah dari aqidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama’ pada zamannya yaitu syihab Al-Dien Al-Nuwairy wafat 733 H.[5]
 Ibnu Al-Qoyyim kemudian meneruskan paham dan pemikiran gurunya ini dalam sebagian besar permasalahan yang berhubungan dengan ilmu kalam dan fiqih termasuk paham al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah yang telah beliau terima dari gurunya yang kemudian beliau tetap mempertahankan juga dengan berbagai macam cara.[6]
Ibnu al-qayyim dikenal dengan sosok yang gemar dan progresis dalam menimba ilmu, koleksi bukunya mencapai seperpuluh dari apa yang belum terkoleksi oleh lainnya, termasuk buku-buku  koleksi dari salaf dan khalf, maka tidak asing lagi jika mendapati tulisanya dalam setiap objek kajian sebagai pemegang konsesi terhadap istila-istilah tasauf. Beliau juga seorang yang menangani sebuah perpustakaan yang besar dan selalu mengkaji buku-buku tersebut siang dan malam, dan sudah menjadi sebuah kepastian sebalum beliau menulis karya tulis beliau akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu apa yang akan beliau tulis. Semua karyanya lahir dari sebuah kesungguhan yang sudah nyata kebenarannya.
 Dan beliau juga adalah sosok yang sangat bekarakter dan berkepribadian bagus, khususnya dalam aspek ibadah sebab beliau mendapatkan kenikmatan hakiki dalam beribadah sampai-sampai Ibnu Katsir melukiskan tentang beliau: “ibnu Al-Qoyyim mempunyai ciri has tersendiri dalam shalatnya yaitu memperpanjangnya dan dalam setiap ruku’ dan shalatnya beliau senantiasa mengulur-ngulurnya, sehingga sebagian dari sahabat-sahabatnya banyak memprotes dan mencelanya, namun beliau tidak bergeming sedikitpun dari apa yang telah beliau lakukan”, pada zaman kami saya belum menemukan di dunia ini seseorang yang banyak ibadahnya dari pada Al-Jauzi lanjut ibnu katsir.


[1] . Hariz Al-Zar’i, Hâdi Al-arawâh Ilâ Bilâdi Al-aflâh
*Jarak dari Horan ke Dimaskus mencapai 55 Mil ke arah selatan timur
[2]. Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits, Dâr al-da’wah, al-Iskadariah, hal. 75
[3] . ibid. hal.75
[5] . Berandamadina.wordpress.com/2010/03/24
[6] . Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits. hal.75-76

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal