Minggu, 08 Mei 2011

About Love word's

Diposting oleh Zieza Cubby di 00.49 0 komentar


Kata Mutiara Cinta :

kata mutiara cintaSalahlah bagi orang yang mengira bahwa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus.

Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan
abad.

Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dakaplah ia walau
pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.

Cinta tidak menyedari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun tiba. Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan
seorang perempuan mereka berdua telah menyentuh hati keabadian.

Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia kerana cinta itu membangkitkan semangat- hukum-hukum kemanusiaan dan gejala
alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.

Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam
kehidupan yang akan datang

Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika
itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.

Cinta berlalu di depan kita, terbalut dalam kerendahan hati; tetapi kita lari daripadanya dalam ketakutan, atau
bersembunyi di dalam kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya.

Setiap lelaki mencintai dua orang perempuan, yang pertama adalah imaginasinya dan yang kedua adalah yang belum dilahirkan.

Aku mencintaimu kekasihku, sebelum kita berdekatan, sejak pertama kulihat engkau.

Aku tahu ini adalah takdir. Kita akan selalu bersama dan tidak akan ada yang memisahkan kita.

Setiap orang muda pasti teringat cinta pertamanya dan mencuba menangkap kembali hari-hari asing itu, yang kenangannya
mengubah perasaan direlung hatinya dan membuatnya begitu bahagia di sebalik, kepahitan yang penuh misteri.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Jangan menangis, Kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, kerana kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan
cinta yang indah… kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.

Apa yang telah kucintai laksana seorang anak yang tak henti-hentinya aku mencintai… Dan, apa yang kucintai kini… akan
kucintai sampai akhir hidupku, kerana cinta ialah semua yang dapat kucapai… dan tak ada yang akan mencabut diriku dari
padanya

Cinta yang dibasuh oleh airmata akan tetap murni dan indah senantiasa.

kata-kata mutiara "untuk anda yang sedang patah hati"

Diposting oleh Zieza Cubby di 00.41 0 komentar


Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam
kehidupan yang akan datang

Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya.

Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi.

Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping.
Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut.

Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehinggalah kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna sesalan karena perginya tanpa berpatah lagi.

Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya.

Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak. Bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka. Bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu.

Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh.
Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.

Rabu, 04 Mei 2011

FIQIH KONTEMPORER

Diposting oleh Zieza Cubby di 07.52 0 komentar
PEGADAIAN (RAHN)
a. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna diturunkan oleh Allas SWT kepada Nabi Muhammad Saw melalui perentara Malaikat Jibril a.s yang mengandungi tiga aspek ajaran yaitu “akidah, Syaria’ah dan akhlaq.
Ajaran Islam yang mengandung unsur Syari’ah berisikan hal-hal yang mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablu min Nas) yang dikenal dengan Muamalah Islam. Di antara amalan Muamalah tersebut melingkupi aktivitas perekonomian seperti, perdagangan, pinjamam-meminjam, gadaian barang dan aktifitas ekonomi lainnya. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai terkadang menjadi kebutuhan yang segera pada waktu-waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak yang mencakupi kebutuhan primer, skunder maupun pelengkap demi keberlangsungan hidup.
Namun demikian, kebutuhan tersebut adakalah tidak diimbangi dengan ketersediaannya uang tunai yang dimiliki. Maka solusi untuk mengatasi hal tersebut masyarakat akan mendatangi lembaga keuangan atau individu-individu yang bisa menalangi dengan perjanjian ada barang yang diserahkan sebagai jaminan yang dikenal dengan istilah praktek pegadaian. Sebelum munculnya praktek lembaga keuangan Syari’ah masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan terlibat dalam praktek gadaian konvensional yang berbunga yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Pembahasan
1. Pengertian
Gadai (rahn) menurut bahasa artinya tetap dan berkesinambungan, atau disebut jug dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syari’at islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagaian manfaat barang tersebut.
2. Dalil yang memperbolehkan akad gadai
Landasan hukum islam tentang gadai adalah boleh berdasarkan al-Qur’an surat Al-baqoroh: 283, yaitu “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S al- baqoroh: 283).
Landasan hukum yang ke-2 dari riwayat hadis. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas, berkata: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di madinah, sewaktu beliau mengutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau.” (H.R Ahmad, Bukhori, Nasa’i, Ibnu Majah).
Para ulama’ bersepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa syari’at tersebut diberlakukan bagi orang yang tidak berpergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah saw, terhadap orang yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan dalam ayat di atas, maka tergantung kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tersebut.
3. Hukum pemanfaatan barang gadai
Ada beberapa pendapat para ulama’ yang boleh tidaknya memanfatkan barang gadai, yaitu:
a. Menurut ulama’ syafi’iyah
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Menurut ulama syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun jaminan) itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).Dalam hadist Rasullah Saw, yang artinya:“Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Berdasarkan hadist diatas, menurut ulama Syaf’iyah bahwa barang gadai hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai, sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin. Dengan demikian, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan adalah milik rahin. Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
b. Pendapat ulama’ malikiyah
Madzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan barang (jaminan) untuk dipegangkan oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika barang sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.
Murtahin hanya dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang gadai dengan beberapa syarat: 1) Hutang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat terjadi seperti orang menjual barang dengan tangguh, kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan hutangnya maka hal ini diperbolehkan. 2) Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya. 3) Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal. Landasan hukumnya adalah hadist Nabi Muhammad Saw. Yang artinya:“Dari Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Hewan sesorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemilinya”.(HR.Bukhari).
c. Pendapat ulama’ hanabilah
Menurut ulama Hanabilah syarat bagi murtahin untuk mengambil barang gadai yang bukan berupa hewan adalah:
1) Ada izin dari pemilik barang (rahin) .
2) Adanya gadai bukan sebab menghutangkan, Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah, kebun, dan lain sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya. Dalam persoalan barang jaminan, yaitu untuk keselamatn pinjaman jenis qard, tidak di izinkan untuk memanfaatkan barang jaminan karena hal ini dapat di samakan dengan riba, begitu juga penggadai tidak harus menggunakan barang jaminan tanpa seizin pemegang gadai.
Dalil yang mendasar yang membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun) yang dapat ditunggangi adalah hadist Nabi Saw yang artinya: “Barang gadai (marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susunya diminum, dengan nafkahnya abapila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR.Bukhari).
d. Pendapat ulama’ hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadist Nabi Saw yang artinya: Abu Shalih dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Barang Jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) dikuasai oleh penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin), maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (Rahin). Imam Hanafi menambahkan, bahwa pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya.
4. Adapun syarat dan rukun gadai adalah sebagai berikut:
- Rukun gadai
1). Sighat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang
menerima gadai (murtahin).
3). Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Utang (marhun bih).
- Syarat syah gadai:
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
4. Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang (murtahin) atau wakilnya.
Dewan Syari’ah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini, yaitu dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip, ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/II/2002. Namun, ada sedikit ketentuan khusus mengenai rahn ini, sebagai berikut:
1). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
2). Ongkos tersebut besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan.
3). Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
Syarat barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama’ ahli fiqih adalah sebagai berikut:
1. Jaminan itu harus dapat di jual dan nulainya seimbang dengan besarnya hutang.
2. Jaminan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat islam.
3. Jaminan harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
4. Jaminan harus milik debitor (orang yang berhutang) itu sendiri.
5. Jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
6. Jaminan itu harus berupa barang yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat.
7. Jaminan dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa gadai itu baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan kreditor, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh debitor. Apabila barang jaminan itu berupa benda yang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka yang diberikan kepada kreditor cukup dengan sertifikat tanah atau surat-surat rumah. Syarat yang terakhir (kesempurnaan gadai) oleh ulama’ fiqih disebut dengan Al-qabd Al-marhun (barang jaminan secara hukum dikuasai atau di pegang oleh kreditor). Apabila debitor tidak bisa melunasi utang kepada kreditor maka barang jaminan dapat dijual untuk melunasi hutang, jika masih ada kelebihan dari hasil penjualan, maka kelebihan hasil penjualan jaminan itu wajib dikembailikan kepada pemiliknya. Tapi jika debitor tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang jaminan tersebut. Dan apabila masih kurang nilainya maka debitor wajib melunasi sisa hutangnya.
- Berakhirnya akad gadai, gadai batal apabila:
1. Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn batal jika rahin meninggal sebelum menyerahkan jaminan kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin sebelum mengembalikan jaminan kepada rahin.
2. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dipandang habis apabila murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin.hal ini terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya dengan cara tidak memegang barang jaminan.
3. Rahin membatalkan gadai
Rahin membatalkan gadai karena tidak jadi melakukan pinjaman kepada murtahin. Karena rahin telah memperoleh dana.
c. Kesimpulan
Gadai dalam Islam merupakan salah satu instrumen jasa keuangan dalam sistem perekonomian Islam yang bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana secara cepat melalui prinsip-prinsip syari’ah. Dan pemanfaatan barang gadai, ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini ada yang membolehkan ada yang tidak, tapi pada dasarnya barang jaminan tidak boleh diambil manfaatnya oleh kreditor ataupun debitor kecuali apabila ada izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Pemanfaatan tersebut merupakan biaya atas pemeliharaan barang jaminan, sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa pemanfaatan itu haruslah mengikuti perbandingan perbelanjaan, jika tidak demikian, ia dianggap sama dengan riba. Sedangkan biaya penyimpanan atau pemeliharaan barang jaminan menurut kebanyakan ulama’ menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan (balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaiannya.


DAFTAR PUSTAKA
• Muslehudin Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, PT Renika Cipta, Jakarta. 1994
• Remy Sutan SJ, Perbankan IslamPT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 1999.
• Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara ,Jakarta. 2006.
• Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003.
• Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta. 1992.
• Syafei Racmat, Fiqh Muamalah Cetakan III, Pustaka Setia ,Bandung,. 2006

Sosiologi Agama.....

Diposting oleh Zieza Cubby di 07.46 0 komentar
INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
a. Pendahuluan
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap prilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi,dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para taswauf. Bukti diatas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agam dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya.Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta kultural, hancurnya bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna, dan masing-asing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis” dalam ketidak pastian, ketidak budayaan, dan kelangkaan untuk masing-masing kelompok.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail menngenai interelasi agama dan masyarakat dalam pembahasan berikut.
b. Pembahasan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (relegious).
Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), yaitu ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumukan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Sedangkan, definisi eksklusif yaitu membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.
Selain pendekatan fenomenologis, digunakan juga pendekatan fungsional, yaitu agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi.
Guire selanjutnya mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Menurut pandangan Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama, karena berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat memiliki bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban mereka. Dan terdapat juga alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hubungan patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
Emile Durkheim (1858-1917) merupakan salah seorang perintis fungsionalisme modern yang sangat penting. Sumbangan terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary Form of The Relegious Life. Durkheim mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat primitif merupakan suku kekuatan integrasi yang sangat kuat. Hal itu sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sosial sebagaimana dipahami oleh fungsionalis. Durkheim mengartikan nilai sebagai “ konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “keyakinan yang mengshahihkan keberadaan dan pentingnya struktur sosial tertentu serta jenis prilaku tertentu yang ada dalam struktur sosial tersebut”. Sebagai institusi yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik. Sistem pendidikan umum pada masyarakat modern mempunyai fungsi yang sama dengan agama pada masyarakat tradisional karena menstramisikan nilai-nilai masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat, tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, yang dari pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau beberapa tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan kelompok itu terarah atau terpimpin berdasarkan norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok.
Peranan sosial agama sendiri harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari prilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama. Prilaku yang baik mungkin tumbuh dari pandangan dunia semacam itu, namun tanggapan relegius beranjak lebih jauh dari pada sekedar mengikuti norma-norma prilaku konvensional.
Banyak sosiologi tertarik dengan interaksi antara agama dan masyarakat. Sama seperti interaksi yang lain, interaksi ini merupakan pertemuan dua arah, dan kadang-kadang sulit sekali menentukan batas mana yang relegius dan mana yang tidak relegius. Jadi, pengertian tentang keadilan dan tentang kehidupan keluarga bangsa amerika telah dipengaruhi oleh agama Keristen Yahudi. Dilain pihak, agama orang Amerika juga telah dipengaruhi oleh kehidupan politis dan ekonomis masyarakatnya. Mereka yang berusaha untuk memahami hakekat masyarakat nampak sangat terdorong untuk menjelaskan peran agama, baik mereka menyebut diri “relegius” atau tidak. Mereka menganggap agama sebagai pengaruh utama, sedang yang lainnya menganggap agama itu kuno atau bahkan membahayakan, namun lepas dari penilaian ini, agama terlalu lalai untuk dilalaikan.
c. Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang seluruh realitas. Agama merupakan naungan bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi (summum bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan diakhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, beradab dan manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup hewan dan lainnya. Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan) di pengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya. Keyakinan agama yang sifatnya pribadi dan individual bisa berupa tindakan kelompok. Keyakinan itu menjadi sosial disebabkan oleh terutama hakikat agama itu sendiri yang salah satu ajarannya adalah hidup kebersamaan dengan orang lain.











DAFTAR PUSTAKA
• Kahmad Dadang, M.Si, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2009.
• Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Galio Indonesia: Jakarta. 2002.
• Nottingham Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta, 1994.
• Horton Paul. Dan Chester L Hunt, Sosiologi (terjemahan oleh Drs, Aminuddin Ram dan Drs Tita sobari), Erlangga: Jakarta.


Kata Mutiara Cinta :

kata mutiara cintaSalahlah bagi orang yang mengira bahwa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus.

Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan
abad.

Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dakaplah ia walau
pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.

Cinta tidak menyedari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun tiba. Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan
seorang perempuan mereka berdua telah menyentuh hati keabadian.

Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia kerana cinta itu membangkitkan semangat- hukum-hukum kemanusiaan dan gejala
alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.

Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam
kehidupan yang akan datang

Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika
itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.

Cinta berlalu di depan kita, terbalut dalam kerendahan hati; tetapi kita lari daripadanya dalam ketakutan, atau
bersembunyi di dalam kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya.

Setiap lelaki mencintai dua orang perempuan, yang pertama adalah imaginasinya dan yang kedua adalah yang belum dilahirkan.

Aku mencintaimu kekasihku, sebelum kita berdekatan, sejak pertama kulihat engkau.

Aku tahu ini adalah takdir. Kita akan selalu bersama dan tidak akan ada yang memisahkan kita.

Setiap orang muda pasti teringat cinta pertamanya dan mencuba menangkap kembali hari-hari asing itu, yang kenangannya
mengubah perasaan direlung hatinya dan membuatnya begitu bahagia di sebalik, kepahitan yang penuh misteri.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Jangan menangis, Kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, kerana kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan
cinta yang indah… kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.

Apa yang telah kucintai laksana seorang anak yang tak henti-hentinya aku mencintai… Dan, apa yang kucintai kini… akan
kucintai sampai akhir hidupku, kerana cinta ialah semua yang dapat kucapai… dan tak ada yang akan mencabut diriku dari
padanya

Cinta yang dibasuh oleh airmata akan tetap murni dan indah senantiasa.


Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam
kehidupan yang akan datang

Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya.

Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi.

Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping.
Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut.

Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehinggalah kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna sesalan karena perginya tanpa berpatah lagi.

Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya.

Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak. Bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka. Bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu.

Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh.
Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.
PEGADAIAN (RAHN)
a. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna diturunkan oleh Allas SWT kepada Nabi Muhammad Saw melalui perentara Malaikat Jibril a.s yang mengandungi tiga aspek ajaran yaitu “akidah, Syaria’ah dan akhlaq.
Ajaran Islam yang mengandung unsur Syari’ah berisikan hal-hal yang mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablu min Nas) yang dikenal dengan Muamalah Islam. Di antara amalan Muamalah tersebut melingkupi aktivitas perekonomian seperti, perdagangan, pinjamam-meminjam, gadaian barang dan aktifitas ekonomi lainnya. Kebutuhan masyarakat akan uang tunai terkadang menjadi kebutuhan yang segera pada waktu-waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak yang mencakupi kebutuhan primer, skunder maupun pelengkap demi keberlangsungan hidup.
Namun demikian, kebutuhan tersebut adakalah tidak diimbangi dengan ketersediaannya uang tunai yang dimiliki. Maka solusi untuk mengatasi hal tersebut masyarakat akan mendatangi lembaga keuangan atau individu-individu yang bisa menalangi dengan perjanjian ada barang yang diserahkan sebagai jaminan yang dikenal dengan istilah praktek pegadaian. Sebelum munculnya praktek lembaga keuangan Syari’ah masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan terlibat dalam praktek gadaian konvensional yang berbunga yang bertentangan dengan syariat Islam.
b. Pembahasan
1. Pengertian
Gadai (rahn) menurut bahasa artinya tetap dan berkesinambungan, atau disebut jug dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syari’at islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagaian manfaat barang tersebut.
2. Dalil yang memperbolehkan akad gadai
Landasan hukum islam tentang gadai adalah boleh berdasarkan al-Qur’an surat Al-baqoroh: 283, yaitu “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S al- baqoroh: 283).
Landasan hukum yang ke-2 dari riwayat hadis. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas, berkata: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di madinah, sewaktu beliau mengutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau.” (H.R Ahmad, Bukhori, Nasa’i, Ibnu Majah).
Para ulama’ bersepakat bahwa gadai hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah gadai dan landasan hukumnya. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa syari’at tersebut diberlakukan bagi orang yang tidak berpergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah saw, terhadap orang yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian, sebagaimana dikaitkan dalam ayat di atas, maka tergantung kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tersebut.
3. Hukum pemanfaatan barang gadai
Ada beberapa pendapat para ulama’ yang boleh tidaknya memanfatkan barang gadai, yaitu:
a. Menurut ulama’ syafi’iyah
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Menurut ulama syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun jaminan) itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai (murtahin).Dalam hadist Rasullah Saw, yang artinya:“Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Berdasarkan hadist diatas, menurut ulama Syaf’iyah bahwa barang gadai hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai, sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin. Dengan demikian, manfaat atau hasil dari barang yang digadaikan adalah milik rahin. Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
b. Pendapat ulama’ malikiyah
Madzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan barang (jaminan) untuk dipegangkan oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika barang sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.
Murtahin hanya dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang gadai dengan beberapa syarat: 1) Hutang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat terjadi seperti orang menjual barang dengan tangguh, kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan hutangnya maka hal ini diperbolehkan. 2) Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya. 3) Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal. Landasan hukumnya adalah hadist Nabi Muhammad Saw. Yang artinya:“Dari Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Hewan sesorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemilinya”.(HR.Bukhari).
c. Pendapat ulama’ hanabilah
Menurut ulama Hanabilah syarat bagi murtahin untuk mengambil barang gadai yang bukan berupa hewan adalah:
1) Ada izin dari pemilik barang (rahin) .
2) Adanya gadai bukan sebab menghutangkan, Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah, kebun, dan lain sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya. Dalam persoalan barang jaminan, yaitu untuk keselamatn pinjaman jenis qard, tidak di izinkan untuk memanfaatkan barang jaminan karena hal ini dapat di samakan dengan riba, begitu juga penggadai tidak harus menggunakan barang jaminan tanpa seizin pemegang gadai.
Dalil yang mendasar yang membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai (marhun) yang dapat ditunggangi adalah hadist Nabi Saw yang artinya: “Barang gadai (marhun dikendarai)oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susunya diminum, dengan nafkahnya abapila digadaikan dan atas yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya”. (HR.Bukhari).
d. Pendapat ulama’ hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadist Nabi Saw yang artinya: Abu Shalih dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Barang Jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi”.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin) dikuasai oleh penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin), maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (Rahin). Imam Hanafi menambahkan, bahwa pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya.
4. Adapun syarat dan rukun gadai adalah sebagai berikut:
- Rukun gadai
1). Sighat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang
menerima gadai (murtahin).
3). Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Utang (marhun bih).
- Syarat syah gadai:
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
4. Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang (murtahin) atau wakilnya.
Dewan Syari’ah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini, yaitu dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip, ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/II/2002. Namun, ada sedikit ketentuan khusus mengenai rahn ini, sebagai berikut:
1). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai
(rahin).
2). Ongkos tersebut besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata
diperlukan.
3). Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
Syarat barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama’ ahli fiqih adalah sebagai berikut:
1. Jaminan itu harus dapat di jual dan nulainya seimbang dengan besarnya hutang.
2. Jaminan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat islam.
3. Jaminan harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik).
4. Jaminan harus milik debitor (orang yang berhutang) itu sendiri.
5. Jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya).
6. Jaminan itu harus berupa barang yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat.
7. Jaminan dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa gadai itu baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan kreditor, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh debitor. Apabila barang jaminan itu berupa benda yang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka yang diberikan kepada kreditor cukup dengan sertifikat tanah atau surat-surat rumah. Syarat yang terakhir (kesempurnaan gadai) oleh ulama’ fiqih disebut dengan Al-qabd Al-marhun (barang jaminan secara hukum dikuasai atau di pegang oleh kreditor). Apabila debitor tidak bisa melunasi utang kepada kreditor maka barang jaminan dapat dijual untuk melunasi hutang, jika masih ada kelebihan dari hasil penjualan, maka kelebihan hasil penjualan jaminan itu wajib dikembailikan kepada pemiliknya. Tapi jika debitor tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang jaminan tersebut. Dan apabila masih kurang nilainya maka debitor wajib melunasi sisa hutangnya.
- Berakhirnya akad gadai, gadai batal apabila:
1. Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn batal jika rahin meninggal sebelum menyerahkan jaminan kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin sebelum mengembalikan jaminan kepada rahin.
2. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dipandang habis apabila murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin.hal ini terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya dengan cara tidak memegang barang jaminan.
3. Rahin membatalkan gadai
Rahin membatalkan gadai karena tidak jadi melakukan pinjaman kepada murtahin. Karena rahin telah memperoleh dana.
c. Kesimpulan
Gadai dalam Islam merupakan salah satu instrumen jasa keuangan dalam sistem perekonomian Islam yang bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana secara cepat melalui prinsip-prinsip syari’ah. Dan pemanfaatan barang gadai, ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini ada yang membolehkan ada yang tidak, tapi pada dasarnya barang jaminan tidak boleh diambil manfaatnya oleh kreditor ataupun debitor kecuali apabila ada izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Pemanfaatan tersebut merupakan biaya atas pemeliharaan barang jaminan, sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa pemanfaatan itu haruslah mengikuti perbandingan perbelanjaan, jika tidak demikian, ia dianggap sama dengan riba. Sedangkan biaya penyimpanan atau pemeliharaan barang jaminan menurut kebanyakan ulama’ menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan (balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaiannya.


DAFTAR PUSTAKA
• Muslehudin Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, PT Renika Cipta, Jakarta. 1994
• Remy Sutan SJ, Perbankan IslamPT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. 1999.
• Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 4, Pena Pundi Aksara ,Jakarta. 2006.
• Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003.
• Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta. 1992.
• Syafei Racmat, Fiqh Muamalah Cetakan III, Pustaka Setia ,Bandung,. 2006
INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
a. Pendahuluan
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap prilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi,dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para taswauf. Bukti diatas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agam dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya.Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam proses sosial, hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen. Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta kultural, hancurnya bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan agama dan cara merasakan titik kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda tentang makna, dan masing-asing kelompok akan menafsirkan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis” dalam ketidak pastian, ketidak budayaan, dan kelangkaan untuk masing-masing kelompok.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail menngenai interelasi agama dan masyarakat dalam pembahasan berikut.
b. Pembahasan
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (relegious).
Para ilmuwan sosial menghadapi banyak kesulitan dalam merumuskan agama dengan tepat. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), yaitu ada dua jenis utama definisi tentang agama yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial, yang inklusif dan eksklusif. Definisi inklusif merumukan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Sedangkan, definisi eksklusif yaitu membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.
Selain pendekatan fenomenologis, digunakan juga pendekatan fungsional, yaitu agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi.
Guire selanjutnya mengatakan berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam bentuk identitas seseorang. Menurut pandangan Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama, karena berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat memiliki bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban mereka. Dan terdapat juga alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hubungan patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
Emile Durkheim (1858-1917) merupakan salah seorang perintis fungsionalisme modern yang sangat penting. Sumbangan terpenting atas fungsionalisme adalah salah satu karyanya, The Elementary Form of The Relegious Life. Durkheim mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat primitif merupakan suku kekuatan integrasi yang sangat kuat. Hal itu sejalan dengan pentingnya peranan nilai-nilai dalam sosial sebagaimana dipahami oleh fungsionalis. Durkheim mengartikan nilai sebagai “ konsep kebaikan yang diterima secara umum” atau “keyakinan yang mengshahihkan keberadaan dan pentingnya struktur sosial tertentu serta jenis prilaku tertentu yang ada dalam struktur sosial tersebut”. Sebagai institusi yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik. Sistem pendidikan umum pada masyarakat modern mempunyai fungsi yang sama dengan agama pada masyarakat tradisional karena menstramisikan nilai-nilai masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat, tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat kumulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, yang dari pola tersebut para anggotanya secara bersama memiliki satu tujuan atau beberapa tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan berpola. Itu dimungkinkan karena kegiatan kelompok itu terarah atau terpimpin berdasarkan norma yang disepakati bersama, yang terwujud dari kehidupan berkelompok.
Peranan sosial agama sendiri harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari prilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama. Prilaku yang baik mungkin tumbuh dari pandangan dunia semacam itu, namun tanggapan relegius beranjak lebih jauh dari pada sekedar mengikuti norma-norma prilaku konvensional.
Banyak sosiologi tertarik dengan interaksi antara agama dan masyarakat. Sama seperti interaksi yang lain, interaksi ini merupakan pertemuan dua arah, dan kadang-kadang sulit sekali menentukan batas mana yang relegius dan mana yang tidak relegius. Jadi, pengertian tentang keadilan dan tentang kehidupan keluarga bangsa amerika telah dipengaruhi oleh agama Keristen Yahudi. Dilain pihak, agama orang Amerika juga telah dipengaruhi oleh kehidupan politis dan ekonomis masyarakatnya. Mereka yang berusaha untuk memahami hakekat masyarakat nampak sangat terdorong untuk menjelaskan peran agama, baik mereka menyebut diri “relegius” atau tidak. Mereka menganggap agama sebagai pengaruh utama, sedang yang lainnya menganggap agama itu kuno atau bahkan membahayakan, namun lepas dari penilaian ini, agama terlalu lalai untuk dilalaikan.
c. Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang seluruh realitas. Agama merupakan naungan bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi (summum bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan diakhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, beradab dan manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup hewan dan lainnya. Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Dalam keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan) di pengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya. Keyakinan agama yang sifatnya pribadi dan individual bisa berupa tindakan kelompok. Keyakinan itu menjadi sosial disebabkan oleh terutama hakikat agama itu sendiri yang salah satu ajarannya adalah hidup kebersamaan dengan orang lain.











DAFTAR PUSTAKA
• Kahmad Dadang, M.Si, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2009.
• Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Galio Indonesia: Jakarta. 2002.
• Nottingham Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta, 1994.
• Horton Paul. Dan Chester L Hunt, Sosiologi (terjemahan oleh Drs, Aminuddin Ram dan Drs Tita sobari), Erlangga: Jakarta.

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal