Senin, 10 Januari 2011

Diposting oleh Zieza Cubby di 05.34 0 komentar
begitu sulit menghapusmu dari hatiku, tak semudah aku menghapusmu dari fb, aku tahu kalau aku tak akan bisa memilikimu karena engkau t'lah menjadi milik orang lain, tapi kenapa kau begitu lama singgah dihatiku,

Sabtu, 08 Januari 2011

Rindu yang terlarang

Diposting oleh Zieza Cubby di 01.48 0 komentar
Sekian lama sudah kita telah berpisah
Ku rasa kini engkau tak sendiri lagi
Aku pun kini juga seperti dirimu
Satu hati telah mengisi hidupku
Tak perlu engkau tahu rasa rindu ini
Dan lagi mungkin kini kau telah bahagia
Namun andai kau dengar syair lagu ini
Jujur saja aku sangat merindukanmu
Memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu
Sebab kau tak lagi seperti yang dulu
Kendati berat rasa rinduku padamu
Biarkan ku hadang rinduku terlarang
Ku puisikan rindu di hatiku
Ku harap tiada seorang pun tahu
Biar ku simpan saja
Biar ku pendam sudah
Terlarang sudah rinduku padamu
Kendati berat rasa rinduku padamu
Biarkan ku hadang rinduku terlarang
Ku puisikan rindu di hatiku
Ku harap tiada seorang pun tahu
Biar ku simpan saja
Biar ku pendam sudah
Terlarang sudah rinduku padamu
Terlarang sudah rinduku padamu

Selasa, 04 Januari 2011

hope is a dream doesn't sleep

Diposting oleh Zieza Cubby di 05.56 0 komentar
It doesn’t matter if I’m lonely. Whenever I think of you
A smile spreads across my face.
It doesn’t matter if I’m tired. Whenever you are happy
My heart is filled with love.

Today I might live in a harsh world again.
Even if I’m tired, when I close my eyes, I only see your image.
The dreams that are still ringing in my ears
Are leaving my side towards you.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

Like a shadow by my side you always
Quietly come to me.
To see if I’m hurt, to see if I’m lonely everyday
With feelings of yearning, you come to me.

Even if the world makes me cry, I’m okay.
Because you are always by my side.
Like dust, will those memories change and leave?
I’ll keep smiling to ease my heart.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

No matter how many times I stumble and fall
I’m still standing like this.
I only have one heart.
When I’m tired you become my strength.
My heart is towards you forever.

So I swallowed the hurt and grief.
I’ll only show you my smiling form.
It doesn’t even hurt now.

I’ll always hold on to the dreams I want to fulfill with you
I’ll try to call for you at the place I cannot reach
I love you with all my heart.

Senin, 03 Januari 2011

abdullah ibn saba'

Diposting oleh Zieza Cubby di 05.34 0 komentar

ABDULLAH IBN SABA’
Pendusta Muslim dan Pendiri Syi’ah
Berbicara tentang tokoh ini adalah aktor intelektual rentetan kejadian fitnah antara enam bulan terakhir khalifah utsman bin affan sampai rentang terakhir khalifah ali bin abi thalib. Abdullah ibn saba’ Alhimyari atau disebut juga ibnu sauda’adalah seorang yahudi dari negeri yaman(shan’a) yang telah masuk islam melalui tangan ali yang bermukim di al-madain,dan menampakkan keislamannya pada masa usman bin affan. menurut syeikhul islam ibnu taimiyah bahwa asal usul faham ini dari munafiqin dan zanadiqoh (yaitu orang-orang yang menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafiran) dan dia juga pencetus pertama bagi faham syi’ah, yang begitu ekstrim menampakkan kemuliaannya kepada ali r.a. dengan satu slogan bahwa ali yang berhak menjadi khalifah, dan ia adalah orang yang ma’sum (terjaga dari segala dosa)
Ketika ibnu saba’ menyatakan keislamannya dan mulai menampakkan sikap amar ma’ruf nahi munkar, serta  menarik simpati banyak orang, maka ia mulai mendekatkan diri dan menampakkan kecintaannya pada ali, setelah kedudukannya cukup stabil, ia mulai menciptakan kebohongan pada diri ali. Salah seorang tokoh besar dari golongan tabi’in yang wafat pada tahun 103H, yaitu asy-sya’bi berkata: yang pertama kali melahirkan kebohongan adalah abdullah ibn saba’, dia telah berdusta atas nama Allah dan rosulnya.
Berbagai macam fitnah ia timbulkan, ia terlibat pembunuhuan khalifah usman bin affan, juga terlibat pengobaran fitnah pada perang jamal antara ali dan aisyah, dan perang siffin antara mu’awiyah dan ali. Kemudian pada pemerintahan ali ia kembali membuat ulah. Dengan ulahnya itulah para sabba’iyah harus rela dibakar oleh seorang yang mereka anggap sebagai tuhan.
Ia mulai merekayasa fikroh wasiat nabi tentang kababilitas ali bin abi thalib sebagai pemimpin, maka siapapun saat ini berarti telah merampas kepemimpian dari pemiliknya yang sah, dengan cara ini dia bisa membunuh karakter usman. Dari sini dia mulai mengkampanyekan pemikirannya dengan mengunjungi sentral kota-kota pada masa itu adalah mesir,syam,kufah,dan basrah. Ia bahkan bisa memobilisasikan pengikutnya dengan membentuk gerakan bawah tanah atau disebut dengan sabaiyah yang pada akhirnya nanti berhasil menggulingkan pemerintahan usman.
Disebutkan dalam sejarah bahwa kampanye abdullah bin saba’ tidak berhenti sampai disitu detik terakhir perang unta yang hampir berakhir dimeja diplomasi antara faksi ali dan triumvrat talhah, zubair dan aisyah digagalkan dengan provokasi abdullah bin saba’ dan kronisnya yang akhirnya menyebabkan pertumpahan darah antara kaum muslim sendiri hanya setelah 28tahun rosulullah wafat.
EKSISTENSI ABDULLAH IBN SABA

Setelah menelaah biografi dan perannya, rasanya patut kita teliti ulang eksistensi tokoh kita yang satu ini, bukan karena apa, tapi karena dianggap peran itu tidak semestinya yang dilakoni Abdullah, benarkah realita itu memang benar-benar terjadi di masa lampau, kalau benar sudah selayaknya kita memberikan gelar tokoh kita sebagai guru besar bidang Provokasi Massa.

Tapi jika tidak, maka cerita yang selama ini kita baca, kita publikasikan dan kita diskusikan tentang Ibnu Saba sama saja dengan cerita-cerita masa silam yang terkadang lebih banyak bumbu dibanding isi.

Dalam banyak referensi hadits Syiah dan Sunah disebut juga bahwa Abdullah bin Saba inilah pencetus penuhanan Aly bin Abi Thalib hingga akhirnya ia tewas dibakar Imam Aly. Untuk mengetahui referensi itu bisa ditelaah dalam kitab Alkafi Kulaini, Ma'rifatun Naqilin Kisyi (lebih popular dengan nama Rijalul Kisyi), Biharul Anwar Majlisi, riwayat sunahnya bisa dicheck dalam Musnad Ahmad, dalam Shohih Bukhory diriwayatkan bahwa Imam Aly menghukum bakar kaum murtad dan zindiq tanpa menyebut nama Abdullah bin Saba.

Ada satu ironi pada realita penuhanan Aly jika saja memang kisah ini valid, Jazirah Arab dengan segala kejahiliannya sebelum Islam tidak pernah taraf kejahilyahan mereka sampai pada taraf penuhanan terhadap sesama manusia (sesuai dengan sejarah yang kita baca), mereka memang karena kebodohannya mengubur hidup-hidup anak perempuan, mereka menyembah berhala, memakan bangkai, membudayakan mabuk dan judi tapi untuk menuhankan sesama manusia kita belum menemukannya dalam sejarah.

Mungkin saja kita menemukan fenomena menuhankan manusia pada masyarakat Egypt kuno pada era Firaun, Nasroni Romawi yang sepakat menuhankan Yesus, Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak tuhan, bangsa Jepang dan China yang menganggap kaisar adalah anak tuhan, bangsa India dan faham Kejawen yang terkadang mendewa-dewakan seseorang yang dianggap titisan Wishnu. Tapi sejujurnya saya belum menemukan bahwa arab jahiliyah pernah menyembah manusia.
Jika arab jahiliyah saja tidak ada penuhanan manusia (katakan saja demikian sampai kita menemukan dalam sejarah bahwa fenomena ini pernah ada di zaman jahilliyah) kecil sekali kemungkinan fenomena ini terjadi  di era Imam Aly setelah Islam tersebar hampir ke seluruh pelosok arab.

ternyata aku salah mengenalmu..........

Diposting oleh Zieza Cubby di 05.28 0 komentar
Kau pernah bilang aku yang terdalam
Kau simpan di dalam hatimu
Kau juga bilang di hembus nafasmu
Selalu kau sebut namaku
Tapi mengapa kau tinggalkan aku
Disaat aku butuh
Terlalu indah yang pernah kau bilang
Ternyata salah ku mengenalmu
Lupakan aku jelas kau permainkanku
Aku tak mengapa ku biasa saja
Walau sedikit terluka
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja
Tapi mengapa kau tinggalkan aku
Disaat aku butuh
Terlalu indah yang pernah kau bilang
courtesy of www.downloadmp3andsonglyrics.com
Ternyata salah ku mengenalmu
Lupakan aku jelas kau permainkanku
Aku tak mengapa ku biasa saja
Walau sedikit terluka
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja

ibnu al-qayyim al-jauzy

Diposting oleh Zieza Cubby di 04.56 0 komentar

IBNU AL-QAYYIM AL-JAUZY
Ibnu Al-Qayyim atau nama asalnya adalah Shams al-Din Abu 'Abd Allah Muhammad bin Abu Bakr bin Sa'ad, lahir dalam lingkungan rumah yang penuh dengan keilmuan dan intlektualitas didaerah Zur’-Horan*-Dimakus pada tanggal, 7 shafar 691 H, yang bertepatan pada tanggal 05 januari 1292 M. Pada saat hilafah Abbasiah mengalami kemunduran[1] Beliau merupakan sosok intelektual yang sangat vokal, gamblang penjelasannya, sangat luas pengetahuannya yang meliputi bidang hukum Islam (fiqih), tafsir, hadits, ilmu `alat (nahwu), dan ilmu ushul fiqih. Beliau juga pernah menjadi ketua Madrasah Al-Jauziyyah, dan sudah lama menjadi staf pengajar di Madrasah Shadriyyah. Beliau menunaikan ibada haji beberapa kali dan tinggal di sekitar Kota Mekkah. Masyarakat Mekkah banyak membicarakan tentang kekhusyu`an beliau dalam menjalankan ibadah kepada Allah. beliau sangat sering melakukan thawaf yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kebanyakan orang.dan ayahnya merupakan guru pertama yang mengajar Ibn Qayyim tentang ilmu-ilmu asas Islam termasuk ilmu al-fara'id.
Ibnu Al-Qoyyim adalah salah satu murid Ibnu Taimiah yang paling terkenal. Dalam berbagai karya yang mengangkat tentang pemikiran Ibnu Taimiah seringkali nama beliau di sandingkan dengan nama gurunya itu begitu juga sebaliknya dalam setiap karya yang beliau tulis tidak lupa untuk mencantumkan nama gurunya sekaligus pemikirannya. Dan beliau juga seorang murid yang terbilang cukup lama bersanding dan Menimba ilmu kepada Ibnu Taimiah[2]. Ini senada dengan ungkapkan Ibnu Katsir yang dikutip oleh Dr. Mustafa Hilmi sendiri dalam karya beliau Al-bidâyah wa al-nihâyah bahwa beliau berkata: “ketika Ibnu Taimiah kembali dari negeri Mesir pada tahun 712 H. Beliau (Ibnu Al-Qayyim) selalu mendampingi gurunya dan menimba banyak ilmu sampai akhir hayat gurunya”.[3]
Bukanlah suatu hal yang aneh apabila Ibn Al-Qayyim menjelma sebagai sosok intelektual yang handal. Beliau dibesarkan dalam iklim yang sangat subur, ketika banyak ulama alim yang hidup pada waktu itu. Sejak dini beliau benar-benar sudah memberikan dirinya untuk menekuni dunia pendidikan baik di bidang fikih, bahasa, ilmu kalam dan tasawuf. Begitu juga dengan perhatian beliau dalam sejarah kenabian dan sejarah umum.[4] Ilmu-ilmu sosial yang beliau pelajari juga cukup memadai. Para pembaca karya-karya beliau akan dibuat tercengang mengetahui bahwa beliau juga sangat mahir dalam bidang sastra, ilmu nahwu dan kemahiran olah sya`ir. Beliau sangat menguasai berbagai keahlian dan pengetahuan yang sedang melejit pada zamannya. Beliau adalah seorang kutu buku dan mempunyai koleksi buku yang tidak terhitung jumlahnya. Sampai-sampai setelah beliau wafat, anak keturunannya menjual buku-buku koleksi tersebut dengan membutuhkan waktu beberapa tahun. Itu belum termasuk yang sengaja dijadikan koleksi pribadi bagi mereka sendiri.
Adapun gurunya sendiri (Ibnu Taimiah 661-728 H.) merupakan seorang yang selalu mempertahankan aliran-aliran/paham salaf. Beliau sering terjun membahas tentang pergulatan ilmu kalam serta membantah para filsuf lalu mebongkar, memperlihatkan ketidak pastian al-tasauf al-falsafi menurut pandangan Islam, dan mempertahankan al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah karena ia merupakan jalan dan cara yang benar dalam Islam, walau dalam sebagian kisah perjalanan akidah, beliau pernah terjebak dalam faham Al-Mujassimah sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam karyanya I’tiqad Ahlussunnah wa al jamaah” yang pada kenyataannya paham ini dianut oleh Wahabi kemudian mereka menisbatkannya kepada syaikhul islam Ibnu Taimiah untuk mencari lisensi kebenaran aqidah mereka’. Namun Ibnu Hajar Al-Asqolani (pengarang Fathu Al-Baari syarah Shahih Al-Buhari,773-852 H) dalam kitabnya Al-Dhurar Al-Kaminah fi a’yan Al-Miaah Al-Saminah telah memberi kesaksian bahwa Ibnu Taimiah telah meminta maaf kepada ulama dan bertaubat dari faham sesatnya tersebut. Kenyataan bertaubatnya Ibnu taimiah dari aqidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama’ pada zamannya yaitu syihab Al-Dien Al-Nuwairy wafat 733 H.[5]
 Ibnu Al-Qoyyim kemudian meneruskan paham dan pemikiran gurunya ini dalam sebagian besar permasalahan yang berhubungan dengan ilmu kalam dan fiqih termasuk paham al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah yang telah beliau terima dari gurunya yang kemudian beliau tetap mempertahankan juga dengan berbagai macam cara.[6]
Ibnu al-qayyim dikenal dengan sosok yang gemar dan progresis dalam menimba ilmu, koleksi bukunya mencapai seperpuluh dari apa yang belum terkoleksi oleh lainnya, termasuk buku-buku  koleksi dari salaf dan khalf, maka tidak asing lagi jika mendapati tulisanya dalam setiap objek kajian sebagai pemegang konsesi terhadap istila-istilah tasauf. Beliau juga seorang yang menangani sebuah perpustakaan yang besar dan selalu mengkaji buku-buku tersebut siang dan malam, dan sudah menjadi sebuah kepastian sebalum beliau menulis karya tulis beliau akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu apa yang akan beliau tulis. Semua karyanya lahir dari sebuah kesungguhan yang sudah nyata kebenarannya.
 Dan beliau juga adalah sosok yang sangat bekarakter dan berkepribadian bagus, khususnya dalam aspek ibadah sebab beliau mendapatkan kenikmatan hakiki dalam beribadah sampai-sampai Ibnu Katsir melukiskan tentang beliau: “ibnu Al-Qoyyim mempunyai ciri has tersendiri dalam shalatnya yaitu memperpanjangnya dan dalam setiap ruku’ dan shalatnya beliau senantiasa mengulur-ngulurnya, sehingga sebagian dari sahabat-sahabatnya banyak memprotes dan mencelanya, namun beliau tidak bergeming sedikitpun dari apa yang telah beliau lakukan”, pada zaman kami saya belum menemukan di dunia ini seseorang yang banyak ibadahnya dari pada Al-Jauzi lanjut ibnu katsir.


[1] . Hariz Al-Zar’i, Hâdi Al-arawâh Ilâ Bilâdi Al-aflâh
*Jarak dari Horan ke Dimaskus mencapai 55 Mil ke arah selatan timur
[2]. Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits, Dâr al-da’wah, al-Iskadariah, hal. 75
[3] . ibid. hal.75
[5] . Berandamadina.wordpress.com/2010/03/24
[6] . Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits. hal.75-76

Minggu, 02 Januari 2011

Nur muhammad pandangan al-alusi dan ulama' -ulama' mufassir

Diposting oleh Zieza Cubby di 04.32 0 komentar
NUR MUHAMMAD PANDANGAN al-ALUSI
Pendahuluan
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam 'aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep 'aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterima dan diakui oleh ijma' (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama' tasawwuf (awliya' Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari al-Quran dan Hadits Nabi sallallahu 'alayhi wasallam. Konsep 'aqidah Nur Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu 'alayhi wasallam adalah makhluk pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta'ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Menurut Dr. Abdul al-Qadir Mahmud, riwayat tentang Nur Muhammad itu pertama kali tersebar dimasa Imam Ja`far al-Shadiq (148), kemudian berkembang luas dikalangan kaum Syi`ah Ghullat. Menurut mereka Nur Muhammad adalah qadim.
Sebelum membahas lebih jauh jauh tentang apa itu Nur Muhammad,maka terlebih dahulu kita mengetahui tentang hakekat mengenal yang hakiki, yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan dengan penganalisaan kabar berita dari membaca buku maupun akal fikiran saja. Tasawuf mengatakan bahwa akal bisa menjadi pendorong sekaligus juga bisa menjadi penghalang atau hijab terhadap diri dalam beribadah seandainya ia tidak bisa menerima input/informasi yang sempurna dan benar.
Dari penjabaran diatas menunjukkan bahwa betapa perlunya kehadiran Muhammad s.a.w dalam menegakkan risalah yang benar tentang pencipta (Allah), ciptaan (makhluk), asal mula kejadian penciptaan,tujuan penciptaan, dan peran ciptaan terhadap penciptanya. Risalah inilah yang dapat menyadarkan manusia kepada Al-Haq(Allah swt).
Dan dalam kesempatan ini akan diuaraikan sedikit tentang Nur muhammad menurut pandangan Al-alusi.





Biografi al-Alusi
Nama lengkap Al-Alūsi adalah Abū Śanā' Syihab al-Dīn al-Sayyid Mahmūd Afandi Al-Alūsi al-Bagdadi. Laqob beliau adalah Abu Tsana` dan Abu fadlol, sedangkan kunyahnya Beliau adalah syihabuddin, dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya'ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Irak. Beliau termasuk ulama besar di Irak yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usūl (ilmu pokok) maupun ilmu furū’ (ilmu cabang).
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjāniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur'an yang kemudian dikenal dengan tafsir Rūh Al-Ma’āni.
Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu, jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.
Sejarah munculnya istilah Nur Muhammad
Awal munculnya istilah Nur Muhammad adalah pada masa Nabi Muhammad s.a.w, Sebagaimana yang telah nabi jelaskan dalam sabdanya ketika ditanya oleh sahabat Jabir tentang permulaan para makhluq, Nabi berkata: Wahai Jabir Allah Ta`ala telah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya dzatNya sebelum segala sesuatu. Meskipun para ulama berselisih untuk menshohihkan, mendho`ifkan, dan bahkan memaudhu`kan hadis ini, akan tetapi pada kenyataannya hal itu pasti kebenarannya, dan tidak ada alasan untuk mengingkari istilah Nur Muhammad itu muncul sejak masa Nabi Muhammad s.a.w.
Ali Chaudes Kevich berkata istilah Nur Muhammad bukanlah suatu bid`ah atau perbuatan yang mengada-ada dalam sejarah islam, bahkan hal tersebut bedasarkan firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 46 yang dalam ayat tersebut menjelaskan sifat nabi secara jelas bahwa Nabi adalah "سراج منير" yang artinya cahaya yang menyinari, dan bahkan dalam surat al-Maidah ayat 15 disebutkan secara hakekat atau nyata.... 

4 ô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# Ö‘qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B ÇÊÎÈ
Lafadz Nur  dalam ayat ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ahli tafsir adalah Nabi Muhammad.
Pembahasan Nur Muhammad pandangan al-Alusi
Dalam Tafsir Ruh al-ma’ani karangan al-Alusi tentang uraian yang berkenaan dengan Nur Muhammad dalam surat al-Maidah ayat 15 ialah sebagai berikut:
Dalam “Tafsir Ruh al-Ma’ani” karangan Al-Alusi (w.1170 H.), tentang ayat yang dimaksud “telah datang kepada kamu dari Allah Nur dan kitab yang nyata” (5.15), terdapat penjelasan bahawa “Nur itu Nur (yang agung), Nur dari segala Nur, dan Nabi yang terpilih yaitu Nabi Muhammad saw. Pandangan ini yang dipegang oleh Qatadah, dan al-Zajjaj (ahli bahasa yang terkenal) yang memilih pendapat ini…Dan tidak jauh (dari kebenaran) bahwa yang dimaksudkan nur dan kitab yang nyata itu adalah (kedua-duanya merujuk kepada ) Nabi saw, dan penyambung yang digunakan itu adalah seperti penyambung yang dikatakan oleh al-Jubba’I (ulama Mu’tazilah yang terkenal) bahwa yang dimaksud keduanya itu adalah Nur dan kitab itu merujuk kepada al-Qur’an , adapun pandangan al-Alusi kedua-duanya merujuk kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan mungkin banyak yang  merasa ragu untuk menerima pendapat ini dari segi ibaratnya, maka biarkanlah itu dipandang dari segi isyarat (yaitu kalau banyak yang tidak menerima pendapat saya (al-alusi) ini dari segi ibaratnya biarlah itu boleh diterima dari segi isayaratnya)…” .
Dalam kitab yang sama, (Ruh al-Ma’ani, juz IX.100) berhubungan dengan ayat yang dimaksud “Tidaklah kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam”, beliau memberikan uraian bahwa: “Hakikat keadaan Nabi saw sebagai rahmat untuk semua yang wujud (“lil-jami’”) itu ialah dengan iktibar bahwa Baginda adalah penengah –wasitah- bagi limpahan rahmat Ilahi (“wasitah al-faid al-ilahi”) atas sekelian makhluk (“al-mumkinat”) dari awalnya, dan itu ialah karena Nur Baginda saw adalah makhluk yang paling awal; maka dalam hadis dinyatakan “perkara awal yang dijadikan Allah ta’ala ialah nur Nabi, engkau wahai Jabir…” dan datang hadis yang menyebutkan “Allah ta’ala adalah Maha pemberi dan aku adalah Pembagi”.Di kalangan ulama sufi – Allah menyucikan asrar mereka , ada terdapat uraian berkenaan dengan hal yang demikian itu yang lebih lagi daripada ini.”
Kemudian al-Alusi  menukil pendapat ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Miftah al-Sa’adah”. Katanya “Kalaulah tidak kerana nubuwwat tidak akan ada langsung dalam alam ini ilmu yang bermanfaat, amal shalih, dan kebaikan dalam hidup manusia, dan tidak ada asas bagi kerajaan, dan manusia akan berkedudukan seperti hewan dan binatang buas serta anjing yang memudaratkan, yang setengahnya berseteru dengan yang lainnya.
Maka setiap perkara kebaikan di alam ini adalah daripada kesan nubuwwah, dan tiap-tiap keburukan yang terjadi di alam ini atau yang akan terjadi adalah karena sebab terselindungnya kesan nubuwwah dan pengkajian tentangnya. Maka alam ini diperumpamakan jasad dan rohnya adalah nubuwwah, maka tanpa roh jasad itu tidak akan ada apa-apanya; kerana itu (bila tidak ada langsung kesan nubuwwah dan pengkajiannya) bumi akan bergoncang, makhluk yang berada di atasnya akan binasa, maka tidak ada dukungan untuk hidup di alam melainkan dengan kesan-kesan nubuwwah yaitu pengajaran daripadanya). (“Ruh al-Ma’ani”. juz 9, hal. 100).
Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H). dengan kitabnya Sirr al-Asrar fi Ma Yuhtahu ilaihi al-Abrar (hal.12-14 edisi Lahore) yang menyatakan: Ia memberi dalil bahawa Baginda adalah puncak bagi segala sesuatu yang maujud, dan Allah Maha Mengetahui. Haqqi Ismail, (w..1137) menukil hadith itu dalam tafsirnya Ruh al-Bayan Ibn Hajar al-Haitami (w.974 H) dengan Fatawa Hadithiyyahnya Syaikh Ismail al-Dihlawi (w..1246 H) dengan risalahnya Yek Rauzah di mana beliau menyatakan: Sebagaimana yang diisyaratkan oleh riwayat: perkara yang awal dijadikan Allah adalah Nurku. Sulaiman al-Jamal (w.1204 H) yang menukil hadith tentang Nur Muhammad awal-awal dijadikan Allah, dalam syarahnya ke atas al-Busiri berjudul al-Futuhat alAhmadiyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah. ‘Abd al-Qadir al-Jili dengan Namus al-A’zam wa al.-Qamus al-Aqdam fi Ma’rifat Qadar al-Bani sallka’lahu ‘alaihi wa sallam menyebut hadith nur Muhammad. (‘Umar bin Ahmad, w.1299) dalam syarahnya terhadap al-Busiri menyebutnya. Maliki al-Hasani (Muhammad ibn ‘Alawi) menyebutnya dalam syarahnya terhadap kitab al-Qari Hasyiyah Al-Maurid al-Rawi fi Maulid al-Nabi. Pada halaman 40 beliau menyatakan “Sanad Jabir adalah sahih tanpa pertikaian, tetapi ulama berbeda pendapat tentang teksnya karena khususiahnya, Baihaqi juga meriwayatkan hadith itu dengan beberapa kelainan.”
Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (5:15) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad saw, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
-    Mengenai surat An-nur ayat 35
Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut) adalah Nabi saw karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
 Ibn Katsir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip dari Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad saw sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
Kesimpulan tentang Nur Muhammad saw.
Dari pembentangan riwayat-riwayat di atas berdasarkan dokumentasi para mufassirin dan muhadditsin yang merupakan imam-imam dalam bidangnya, ada beberapa kesimpulan yang boleh dibuat. Antaranya ialah: bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sudah ada hakikatnya, nurnya, sebelum sekelian makhluk dijadikan. Bahkan nurnyalah yang merupakan makhluk pertama yang dijadikan oleh Tuhan, sebagai kekasihNya. Ia juga puncak bagi sekelian makhluk yang lain, baik alam tinggi atau alam bawah atau alam rendahnya, alam yang boleh dipandang dengan mata atau alam yang tidak boleh dipandang dengan mata. Ia makhluk yang terawal dicipta dan yang terkemudian sekali dibangkit dengan jasad dan rohnya dalam sejarah alam ini. Namun kewujudannya sebagai nabi dan rasul diketahui oleh sekalian nabi dan rasul dalam seluruh sejarah umat manusia, antaranya, khususnya jelas dari hadis-hadis yang berkenaan dengan Isra’ dan Mi’raj yang banyak dinukil oleh ibn Kathir dalam Tafsirnya berkenaan dengan ayat awal Surah bani Isra’il.
Kalau terlintas bahwa ini adalah tidak munasabah pada akal, maka banyak perkara yang boleh dikatakan tidak munasabah pada akal yang berfikir secara ‘biasa’, misalnya teori quantum tentang dunia yang ada ini dengan benda-bendanya tidak “pejal’ bahkan ia samaada bersifat sebagai gelombang atau zarrah yang tidak menentu sifatnya, sama ada gelombang atau zarrah. Yang kelihatan pejal, keras pada pandangan mata, pada neraca teori quantum adalah tidak demikian. Kalau mengikut fikiran secara ‘biasa” e=mc2 adalah tidak munasabah; tetapi pada ahlinya ia bukan sahaja ‘munasabah’ tetapi ada kebenarannya yang sangat nyata. Atau lihat sahaja benih manusia yang terpancar ke dalam rahim, kemudian selepas sembilan bulan lebih kurang ia menjadi manusia kecil yang bergerak, hidup, demikian seterusnya, kemudian berkata-kata dalam beberapa bulan. Orang boleh berkata sekarang: itu memang demikian. Ya, memang demikian yang berlaku dalam sunnah Tuhan. Demikian pula kita boleh sebutkan demikian sunnah Tuhan dalam hubungan dengan kejadian alam dari pada Nur Nabi kita s.a.w.
Kalau terlintas pada kita tentang hal yang demikian berlawanan dengan kejadian manusia, dan Nabi juga, dari tanah, maka perspektifnya ialah: pada hakikatnya tanah itupun asalnya dari ‘nur’, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk tanah dan lainnya. Tetapi asalnya dari zat-sebelum-benda yang satu itu, nur itu, sebagaimana yang diuraikan oleh kosmologi ulama Sunni kita. Allah memberi rahmat kepada mereka.
Dengan itu ‘nur’ nabi itu bukan saja maknawi, secara bahasa misalnya, tetapi memang hakikatnya ia nur, yang melintasi sekelian nur, sehingga ia makhluk yang berupa nur yang  menjadikan nur-nur yang lain dan zat-zat yang lain.
Kalau sekarang mereka berbicara tentang alam dari segi elektron, proton, neutron, ‘quarks’, ‘photon’ dan apa lagi, maka pada kita, sekalian daripada itu semua, dasar segalanya adalah asalnya ‘nur’ nabi kita. Yang lain-lain itu, bila benar pada pengamatan ilmiah yang mentaati syarat-syaratnya boleh diterima.
Kalau terlintas untuk kita siapa membuat tanggapan bahwa ini pantheisma, ini juga tidak timbul, sebab pantheism adalah falsafah Barat yang baru timbul dalam abad ke IX yang memaksudkan serba-Tuhan, semuanya juzuk-juzuk daripada Tuhan, walaupun hal ini bukan demikian. Yang diajarkan ialah bahwa Tuhan menjadikan nur Baginda sebagai makhluk terawal, yang menjadi puncak segalanya kemudian Baginda muncul dengan jasadnya dan rohnya bila tiba gilirannya di akhir zaman.
Inilah antara yang terlintas pada penulis yang kurang pengetahuan ini untuk menukilkan riwayat-riwayat dari puncak-puncak para ulama yang muktabar dalam umat ini untuk kefahaman dan pegangan bersama. Mudah-mudahan kita semua mendapat rahmat dan barakah dariNya.

al-Allusi....pengarang tafsir ruh al-ma'ani

Diposting oleh Zieza Cubby di 04.19 0 komentar
TOKOH
Al-ALLUSI, Pengarang kitab tafsir “Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani”.
Nama lengkapnya adalah Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi. Nama al Alusi diambil dari nama suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat yang terletak di antarakota Abu Kamal dan kota Ramadi, Irak. Beliau lahir dari keluarga besar yang terpelajar di Baghdad pada tahun 1217 H / 1802 M.
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Al Alusi pernah menjabat sebagai Mufti Baghdad. Ia memiliki pengetahuan yang luas baik dalam bidang ‘aqli maupun naqli. Ia juga seorang mahaguru, pemikir dan ahli berpolemik. Sejak usia muda ia sudah mulai mengarang. Namun hanya sedikit karyanya yang diwariskan kepada generasi sekarang, diantaranya adalah Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani (Semangat makna dalam Tafsir al Qur’an dan al Sab’ al Masani).
Sejak lama al Alusi ingin menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah kitab. Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, keinginan tersebut belum dapat terwujud. Hingga pada suatu Malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252 H.  beliau bermimpi diperintah Allah SWT untuk melipat langit dan bumi. Kemudian (masih dalam keadaan mimpi) beliau mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, kemudian beliau terbangun. Setelah dicari, ternyata tafsir mimpi beliau adalah bahwa beliau diperintah mengarang sebuah kitab tafsir. Maka mulailah beliau mengarang pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu beliau berusia 34 tahun pada zaman pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan.
Setelah kitab ini selesai disusun, beliau mendapat kesulitan dalam memberikan nama yang sesuai. Akhirnya beliau melaporkan hal ini kepada Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Secara sepontan beliau memberinya nama Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani. Setelah beliau meninggal, kitab ini disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al Alusi.
Dalam bidang fiqih beliau bermadzhab Shafi’i, namun dalam banyak hal beliau mengikuti mazhab Hanafi. Bahkan beliau juga memiliki kecenderungan berijtihad. Sedangkan dalam aqidah mengikuti aqidah sunni.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. (dari berbagai sumber)


Oleh : Siti Nur Azizah
begitu sulit menghapusmu dari hatiku, tak semudah aku menghapusmu dari fb, aku tahu kalau aku tak akan bisa memilikimu karena engkau t'lah menjadi milik orang lain, tapi kenapa kau begitu lama singgah dihatiku,
Sekian lama sudah kita telah berpisah
Ku rasa kini engkau tak sendiri lagi
Aku pun kini juga seperti dirimu
Satu hati telah mengisi hidupku
Tak perlu engkau tahu rasa rindu ini
Dan lagi mungkin kini kau telah bahagia
Namun andai kau dengar syair lagu ini
Jujur saja aku sangat merindukanmu
Memang tak pantas mengkhayal tentang dirimu
Sebab kau tak lagi seperti yang dulu
Kendati berat rasa rinduku padamu
Biarkan ku hadang rinduku terlarang
Ku puisikan rindu di hatiku
Ku harap tiada seorang pun tahu
Biar ku simpan saja
Biar ku pendam sudah
Terlarang sudah rinduku padamu
Kendati berat rasa rinduku padamu
Biarkan ku hadang rinduku terlarang
Ku puisikan rindu di hatiku
Ku harap tiada seorang pun tahu
Biar ku simpan saja
Biar ku pendam sudah
Terlarang sudah rinduku padamu
Terlarang sudah rinduku padamu
It doesn’t matter if I’m lonely. Whenever I think of you
A smile spreads across my face.
It doesn’t matter if I’m tired. Whenever you are happy
My heart is filled with love.

Today I might live in a harsh world again.
Even if I’m tired, when I close my eyes, I only see your image.
The dreams that are still ringing in my ears
Are leaving my side towards you.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

Like a shadow by my side you always
Quietly come to me.
To see if I’m hurt, to see if I’m lonely everyday
With feelings of yearning, you come to me.

Even if the world makes me cry, I’m okay.
Because you are always by my side.
Like dust, will those memories change and leave?
I’ll keep smiling to ease my heart.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

No matter how many times I stumble and fall
I’m still standing like this.
I only have one heart.
When I’m tired you become my strength.
My heart is towards you forever.

So I swallowed the hurt and grief.
I’ll only show you my smiling form.
It doesn’t even hurt now.

I’ll always hold on to the dreams I want to fulfill with you
I’ll try to call for you at the place I cannot reach
I love you with all my heart.

ABDULLAH IBN SABA’
Pendusta Muslim dan Pendiri Syi’ah
Berbicara tentang tokoh ini adalah aktor intelektual rentetan kejadian fitnah antara enam bulan terakhir khalifah utsman bin affan sampai rentang terakhir khalifah ali bin abi thalib. Abdullah ibn saba’ Alhimyari atau disebut juga ibnu sauda’adalah seorang yahudi dari negeri yaman(shan’a) yang telah masuk islam melalui tangan ali yang bermukim di al-madain,dan menampakkan keislamannya pada masa usman bin affan. menurut syeikhul islam ibnu taimiyah bahwa asal usul faham ini dari munafiqin dan zanadiqoh (yaitu orang-orang yang menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafiran) dan dia juga pencetus pertama bagi faham syi’ah, yang begitu ekstrim menampakkan kemuliaannya kepada ali r.a. dengan satu slogan bahwa ali yang berhak menjadi khalifah, dan ia adalah orang yang ma’sum (terjaga dari segala dosa)
Ketika ibnu saba’ menyatakan keislamannya dan mulai menampakkan sikap amar ma’ruf nahi munkar, serta  menarik simpati banyak orang, maka ia mulai mendekatkan diri dan menampakkan kecintaannya pada ali, setelah kedudukannya cukup stabil, ia mulai menciptakan kebohongan pada diri ali. Salah seorang tokoh besar dari golongan tabi’in yang wafat pada tahun 103H, yaitu asy-sya’bi berkata: yang pertama kali melahirkan kebohongan adalah abdullah ibn saba’, dia telah berdusta atas nama Allah dan rosulnya.
Berbagai macam fitnah ia timbulkan, ia terlibat pembunuhuan khalifah usman bin affan, juga terlibat pengobaran fitnah pada perang jamal antara ali dan aisyah, dan perang siffin antara mu’awiyah dan ali. Kemudian pada pemerintahan ali ia kembali membuat ulah. Dengan ulahnya itulah para sabba’iyah harus rela dibakar oleh seorang yang mereka anggap sebagai tuhan.
Ia mulai merekayasa fikroh wasiat nabi tentang kababilitas ali bin abi thalib sebagai pemimpin, maka siapapun saat ini berarti telah merampas kepemimpian dari pemiliknya yang sah, dengan cara ini dia bisa membunuh karakter usman. Dari sini dia mulai mengkampanyekan pemikirannya dengan mengunjungi sentral kota-kota pada masa itu adalah mesir,syam,kufah,dan basrah. Ia bahkan bisa memobilisasikan pengikutnya dengan membentuk gerakan bawah tanah atau disebut dengan sabaiyah yang pada akhirnya nanti berhasil menggulingkan pemerintahan usman.
Disebutkan dalam sejarah bahwa kampanye abdullah bin saba’ tidak berhenti sampai disitu detik terakhir perang unta yang hampir berakhir dimeja diplomasi antara faksi ali dan triumvrat talhah, zubair dan aisyah digagalkan dengan provokasi abdullah bin saba’ dan kronisnya yang akhirnya menyebabkan pertumpahan darah antara kaum muslim sendiri hanya setelah 28tahun rosulullah wafat.
EKSISTENSI ABDULLAH IBN SABA

Setelah menelaah biografi dan perannya, rasanya patut kita teliti ulang eksistensi tokoh kita yang satu ini, bukan karena apa, tapi karena dianggap peran itu tidak semestinya yang dilakoni Abdullah, benarkah realita itu memang benar-benar terjadi di masa lampau, kalau benar sudah selayaknya kita memberikan gelar tokoh kita sebagai guru besar bidang Provokasi Massa.

Tapi jika tidak, maka cerita yang selama ini kita baca, kita publikasikan dan kita diskusikan tentang Ibnu Saba sama saja dengan cerita-cerita masa silam yang terkadang lebih banyak bumbu dibanding isi.

Dalam banyak referensi hadits Syiah dan Sunah disebut juga bahwa Abdullah bin Saba inilah pencetus penuhanan Aly bin Abi Thalib hingga akhirnya ia tewas dibakar Imam Aly. Untuk mengetahui referensi itu bisa ditelaah dalam kitab Alkafi Kulaini, Ma'rifatun Naqilin Kisyi (lebih popular dengan nama Rijalul Kisyi), Biharul Anwar Majlisi, riwayat sunahnya bisa dicheck dalam Musnad Ahmad, dalam Shohih Bukhory diriwayatkan bahwa Imam Aly menghukum bakar kaum murtad dan zindiq tanpa menyebut nama Abdullah bin Saba.

Ada satu ironi pada realita penuhanan Aly jika saja memang kisah ini valid, Jazirah Arab dengan segala kejahiliannya sebelum Islam tidak pernah taraf kejahilyahan mereka sampai pada taraf penuhanan terhadap sesama manusia (sesuai dengan sejarah yang kita baca), mereka memang karena kebodohannya mengubur hidup-hidup anak perempuan, mereka menyembah berhala, memakan bangkai, membudayakan mabuk dan judi tapi untuk menuhankan sesama manusia kita belum menemukannya dalam sejarah.

Mungkin saja kita menemukan fenomena menuhankan manusia pada masyarakat Egypt kuno pada era Firaun, Nasroni Romawi yang sepakat menuhankan Yesus, Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak tuhan, bangsa Jepang dan China yang menganggap kaisar adalah anak tuhan, bangsa India dan faham Kejawen yang terkadang mendewa-dewakan seseorang yang dianggap titisan Wishnu. Tapi sejujurnya saya belum menemukan bahwa arab jahiliyah pernah menyembah manusia.
Jika arab jahiliyah saja tidak ada penuhanan manusia (katakan saja demikian sampai kita menemukan dalam sejarah bahwa fenomena ini pernah ada di zaman jahilliyah) kecil sekali kemungkinan fenomena ini terjadi  di era Imam Aly setelah Islam tersebar hampir ke seluruh pelosok arab.

Kau pernah bilang aku yang terdalam
Kau simpan di dalam hatimu
Kau juga bilang di hembus nafasmu
Selalu kau sebut namaku
Tapi mengapa kau tinggalkan aku
Disaat aku butuh
Terlalu indah yang pernah kau bilang
Ternyata salah ku mengenalmu
Lupakan aku jelas kau permainkanku
Aku tak mengapa ku biasa saja
Walau sedikit terluka
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja
Tapi mengapa kau tinggalkan aku
Disaat aku butuh
Terlalu indah yang pernah kau bilang
courtesy of www.downloadmp3andsonglyrics.com
Ternyata salah ku mengenalmu
Lupakan aku jelas kau permainkanku
Aku tak mengapa ku biasa saja
Walau sedikit terluka
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja
Lupakan aku banyak yang lebih darimu
Yang tak hanya bisa cuma bilang cinta
Dan manis di bibir saja

IBNU AL-QAYYIM AL-JAUZY
Ibnu Al-Qayyim atau nama asalnya adalah Shams al-Din Abu 'Abd Allah Muhammad bin Abu Bakr bin Sa'ad, lahir dalam lingkungan rumah yang penuh dengan keilmuan dan intlektualitas didaerah Zur’-Horan*-Dimakus pada tanggal, 7 shafar 691 H, yang bertepatan pada tanggal 05 januari 1292 M. Pada saat hilafah Abbasiah mengalami kemunduran[1] Beliau merupakan sosok intelektual yang sangat vokal, gamblang penjelasannya, sangat luas pengetahuannya yang meliputi bidang hukum Islam (fiqih), tafsir, hadits, ilmu `alat (nahwu), dan ilmu ushul fiqih. Beliau juga pernah menjadi ketua Madrasah Al-Jauziyyah, dan sudah lama menjadi staf pengajar di Madrasah Shadriyyah. Beliau menunaikan ibada haji beberapa kali dan tinggal di sekitar Kota Mekkah. Masyarakat Mekkah banyak membicarakan tentang kekhusyu`an beliau dalam menjalankan ibadah kepada Allah. beliau sangat sering melakukan thawaf yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kebanyakan orang.dan ayahnya merupakan guru pertama yang mengajar Ibn Qayyim tentang ilmu-ilmu asas Islam termasuk ilmu al-fara'id.
Ibnu Al-Qoyyim adalah salah satu murid Ibnu Taimiah yang paling terkenal. Dalam berbagai karya yang mengangkat tentang pemikiran Ibnu Taimiah seringkali nama beliau di sandingkan dengan nama gurunya itu begitu juga sebaliknya dalam setiap karya yang beliau tulis tidak lupa untuk mencantumkan nama gurunya sekaligus pemikirannya. Dan beliau juga seorang murid yang terbilang cukup lama bersanding dan Menimba ilmu kepada Ibnu Taimiah[2]. Ini senada dengan ungkapkan Ibnu Katsir yang dikutip oleh Dr. Mustafa Hilmi sendiri dalam karya beliau Al-bidâyah wa al-nihâyah bahwa beliau berkata: “ketika Ibnu Taimiah kembali dari negeri Mesir pada tahun 712 H. Beliau (Ibnu Al-Qayyim) selalu mendampingi gurunya dan menimba banyak ilmu sampai akhir hayat gurunya”.[3]
Bukanlah suatu hal yang aneh apabila Ibn Al-Qayyim menjelma sebagai sosok intelektual yang handal. Beliau dibesarkan dalam iklim yang sangat subur, ketika banyak ulama alim yang hidup pada waktu itu. Sejak dini beliau benar-benar sudah memberikan dirinya untuk menekuni dunia pendidikan baik di bidang fikih, bahasa, ilmu kalam dan tasawuf. Begitu juga dengan perhatian beliau dalam sejarah kenabian dan sejarah umum.[4] Ilmu-ilmu sosial yang beliau pelajari juga cukup memadai. Para pembaca karya-karya beliau akan dibuat tercengang mengetahui bahwa beliau juga sangat mahir dalam bidang sastra, ilmu nahwu dan kemahiran olah sya`ir. Beliau sangat menguasai berbagai keahlian dan pengetahuan yang sedang melejit pada zamannya. Beliau adalah seorang kutu buku dan mempunyai koleksi buku yang tidak terhitung jumlahnya. Sampai-sampai setelah beliau wafat, anak keturunannya menjual buku-buku koleksi tersebut dengan membutuhkan waktu beberapa tahun. Itu belum termasuk yang sengaja dijadikan koleksi pribadi bagi mereka sendiri.
Adapun gurunya sendiri (Ibnu Taimiah 661-728 H.) merupakan seorang yang selalu mempertahankan aliran-aliran/paham salaf. Beliau sering terjun membahas tentang pergulatan ilmu kalam serta membantah para filsuf lalu mebongkar, memperlihatkan ketidak pastian al-tasauf al-falsafi menurut pandangan Islam, dan mempertahankan al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah karena ia merupakan jalan dan cara yang benar dalam Islam, walau dalam sebagian kisah perjalanan akidah, beliau pernah terjebak dalam faham Al-Mujassimah sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam karyanya I’tiqad Ahlussunnah wa al jamaah” yang pada kenyataannya paham ini dianut oleh Wahabi kemudian mereka menisbatkannya kepada syaikhul islam Ibnu Taimiah untuk mencari lisensi kebenaran aqidah mereka’. Namun Ibnu Hajar Al-Asqolani (pengarang Fathu Al-Baari syarah Shahih Al-Buhari,773-852 H) dalam kitabnya Al-Dhurar Al-Kaminah fi a’yan Al-Miaah Al-Saminah telah memberi kesaksian bahwa Ibnu Taimiah telah meminta maaf kepada ulama dan bertaubat dari faham sesatnya tersebut. Kenyataan bertaubatnya Ibnu taimiah dari aqidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama’ pada zamannya yaitu syihab Al-Dien Al-Nuwairy wafat 733 H.[5]
 Ibnu Al-Qoyyim kemudian meneruskan paham dan pemikiran gurunya ini dalam sebagian besar permasalahan yang berhubungan dengan ilmu kalam dan fiqih termasuk paham al-thariqoh al-muhammadiyah al-imaniyyah yang telah beliau terima dari gurunya yang kemudian beliau tetap mempertahankan juga dengan berbagai macam cara.[6]
Ibnu al-qayyim dikenal dengan sosok yang gemar dan progresis dalam menimba ilmu, koleksi bukunya mencapai seperpuluh dari apa yang belum terkoleksi oleh lainnya, termasuk buku-buku  koleksi dari salaf dan khalf, maka tidak asing lagi jika mendapati tulisanya dalam setiap objek kajian sebagai pemegang konsesi terhadap istila-istilah tasauf. Beliau juga seorang yang menangani sebuah perpustakaan yang besar dan selalu mengkaji buku-buku tersebut siang dan malam, dan sudah menjadi sebuah kepastian sebalum beliau menulis karya tulis beliau akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu apa yang akan beliau tulis. Semua karyanya lahir dari sebuah kesungguhan yang sudah nyata kebenarannya.
 Dan beliau juga adalah sosok yang sangat bekarakter dan berkepribadian bagus, khususnya dalam aspek ibadah sebab beliau mendapatkan kenikmatan hakiki dalam beribadah sampai-sampai Ibnu Katsir melukiskan tentang beliau: “ibnu Al-Qoyyim mempunyai ciri has tersendiri dalam shalatnya yaitu memperpanjangnya dan dalam setiap ruku’ dan shalatnya beliau senantiasa mengulur-ngulurnya, sehingga sebagian dari sahabat-sahabatnya banyak memprotes dan mencelanya, namun beliau tidak bergeming sedikitpun dari apa yang telah beliau lakukan”, pada zaman kami saya belum menemukan di dunia ini seseorang yang banyak ibadahnya dari pada Al-Jauzi lanjut ibnu katsir.


[1] . Hariz Al-Zar’i, Hâdi Al-arawâh Ilâ Bilâdi Al-aflâh
*Jarak dari Horan ke Dimaskus mencapai 55 Mil ke arah selatan timur
[2]. Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits, Dâr al-da’wah, al-Iskadariah, hal. 75
[3] . ibid. hal.75
[5] . Berandamadina.wordpress.com/2010/03/24
[6] . Mustafa Helmi, Al-Tasauf wa al- Ittijâh Al-salafi fi al-ashri Al-hadits. hal.75-76
NUR MUHAMMAD PANDANGAN al-ALUSI
Pendahuluan
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam 'aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep 'aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterima dan diakui oleh ijma' (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama' tasawwuf (awliya' Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari al-Quran dan Hadits Nabi sallallahu 'alayhi wasallam. Konsep 'aqidah Nur Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammad sall-Allahu 'alayhi wasallam adalah makhluk pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta'ala menciptakan makhluq-makhluq lainnya. Menurut Dr. Abdul al-Qadir Mahmud, riwayat tentang Nur Muhammad itu pertama kali tersebar dimasa Imam Ja`far al-Shadiq (148), kemudian berkembang luas dikalangan kaum Syi`ah Ghullat. Menurut mereka Nur Muhammad adalah qadim.
Sebelum membahas lebih jauh jauh tentang apa itu Nur Muhammad,maka terlebih dahulu kita mengetahui tentang hakekat mengenal yang hakiki, yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan dengan penganalisaan kabar berita dari membaca buku maupun akal fikiran saja. Tasawuf mengatakan bahwa akal bisa menjadi pendorong sekaligus juga bisa menjadi penghalang atau hijab terhadap diri dalam beribadah seandainya ia tidak bisa menerima input/informasi yang sempurna dan benar.
Dari penjabaran diatas menunjukkan bahwa betapa perlunya kehadiran Muhammad s.a.w dalam menegakkan risalah yang benar tentang pencipta (Allah), ciptaan (makhluk), asal mula kejadian penciptaan,tujuan penciptaan, dan peran ciptaan terhadap penciptanya. Risalah inilah yang dapat menyadarkan manusia kepada Al-Haq(Allah swt).
Dan dalam kesempatan ini akan diuaraikan sedikit tentang Nur muhammad menurut pandangan Al-alusi.





Biografi al-Alusi
Nama lengkap Al-Alūsi adalah Abū Śanā' Syihab al-Dīn al-Sayyid Mahmūd Afandi Al-Alūsi al-Bagdadi. Laqob beliau adalah Abu Tsana` dan Abu fadlol, sedangkan kunyahnya Beliau adalah syihabuddin, dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya'ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Irak. Beliau termasuk ulama besar di Irak yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usūl (ilmu pokok) maupun ilmu furū’ (ilmu cabang).
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjāniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur'an yang kemudian dikenal dengan tafsir Rūh Al-Ma’āni.
Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu, jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.
Sejarah munculnya istilah Nur Muhammad
Awal munculnya istilah Nur Muhammad adalah pada masa Nabi Muhammad s.a.w, Sebagaimana yang telah nabi jelaskan dalam sabdanya ketika ditanya oleh sahabat Jabir tentang permulaan para makhluq, Nabi berkata: Wahai Jabir Allah Ta`ala telah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya dzatNya sebelum segala sesuatu. Meskipun para ulama berselisih untuk menshohihkan, mendho`ifkan, dan bahkan memaudhu`kan hadis ini, akan tetapi pada kenyataannya hal itu pasti kebenarannya, dan tidak ada alasan untuk mengingkari istilah Nur Muhammad itu muncul sejak masa Nabi Muhammad s.a.w.
Ali Chaudes Kevich berkata istilah Nur Muhammad bukanlah suatu bid`ah atau perbuatan yang mengada-ada dalam sejarah islam, bahkan hal tersebut bedasarkan firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 46 yang dalam ayat tersebut menjelaskan sifat nabi secara jelas bahwa Nabi adalah "سراج منير" yang artinya cahaya yang menyinari, dan bahkan dalam surat al-Maidah ayat 15 disebutkan secara hakekat atau nyata.... 

4 ô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# Ö‘qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B ÇÊÎÈ
Lafadz Nur  dalam ayat ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ahli tafsir adalah Nabi Muhammad.
Pembahasan Nur Muhammad pandangan al-Alusi
Dalam Tafsir Ruh al-ma’ani karangan al-Alusi tentang uraian yang berkenaan dengan Nur Muhammad dalam surat al-Maidah ayat 15 ialah sebagai berikut:
Dalam “Tafsir Ruh al-Ma’ani” karangan Al-Alusi (w.1170 H.), tentang ayat yang dimaksud “telah datang kepada kamu dari Allah Nur dan kitab yang nyata” (5.15), terdapat penjelasan bahawa “Nur itu Nur (yang agung), Nur dari segala Nur, dan Nabi yang terpilih yaitu Nabi Muhammad saw. Pandangan ini yang dipegang oleh Qatadah, dan al-Zajjaj (ahli bahasa yang terkenal) yang memilih pendapat ini…Dan tidak jauh (dari kebenaran) bahwa yang dimaksudkan nur dan kitab yang nyata itu adalah (kedua-duanya merujuk kepada ) Nabi saw, dan penyambung yang digunakan itu adalah seperti penyambung yang dikatakan oleh al-Jubba’I (ulama Mu’tazilah yang terkenal) bahwa yang dimaksud keduanya itu adalah Nur dan kitab itu merujuk kepada al-Qur’an , adapun pandangan al-Alusi kedua-duanya merujuk kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan mungkin banyak yang  merasa ragu untuk menerima pendapat ini dari segi ibaratnya, maka biarkanlah itu dipandang dari segi isyarat (yaitu kalau banyak yang tidak menerima pendapat saya (al-alusi) ini dari segi ibaratnya biarlah itu boleh diterima dari segi isayaratnya)…” .
Dalam kitab yang sama, (Ruh al-Ma’ani, juz IX.100) berhubungan dengan ayat yang dimaksud “Tidaklah kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam”, beliau memberikan uraian bahwa: “Hakikat keadaan Nabi saw sebagai rahmat untuk semua yang wujud (“lil-jami’”) itu ialah dengan iktibar bahwa Baginda adalah penengah –wasitah- bagi limpahan rahmat Ilahi (“wasitah al-faid al-ilahi”) atas sekelian makhluk (“al-mumkinat”) dari awalnya, dan itu ialah karena Nur Baginda saw adalah makhluk yang paling awal; maka dalam hadis dinyatakan “perkara awal yang dijadikan Allah ta’ala ialah nur Nabi, engkau wahai Jabir…” dan datang hadis yang menyebutkan “Allah ta’ala adalah Maha pemberi dan aku adalah Pembagi”.Di kalangan ulama sufi – Allah menyucikan asrar mereka , ada terdapat uraian berkenaan dengan hal yang demikian itu yang lebih lagi daripada ini.”
Kemudian al-Alusi  menukil pendapat ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Miftah al-Sa’adah”. Katanya “Kalaulah tidak kerana nubuwwat tidak akan ada langsung dalam alam ini ilmu yang bermanfaat, amal shalih, dan kebaikan dalam hidup manusia, dan tidak ada asas bagi kerajaan, dan manusia akan berkedudukan seperti hewan dan binatang buas serta anjing yang memudaratkan, yang setengahnya berseteru dengan yang lainnya.
Maka setiap perkara kebaikan di alam ini adalah daripada kesan nubuwwah, dan tiap-tiap keburukan yang terjadi di alam ini atau yang akan terjadi adalah karena sebab terselindungnya kesan nubuwwah dan pengkajian tentangnya. Maka alam ini diperumpamakan jasad dan rohnya adalah nubuwwah, maka tanpa roh jasad itu tidak akan ada apa-apanya; kerana itu (bila tidak ada langsung kesan nubuwwah dan pengkajiannya) bumi akan bergoncang, makhluk yang berada di atasnya akan binasa, maka tidak ada dukungan untuk hidup di alam melainkan dengan kesan-kesan nubuwwah yaitu pengajaran daripadanya). (“Ruh al-Ma’ani”. juz 9, hal. 100).
Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H). dengan kitabnya Sirr al-Asrar fi Ma Yuhtahu ilaihi al-Abrar (hal.12-14 edisi Lahore) yang menyatakan: Ia memberi dalil bahawa Baginda adalah puncak bagi segala sesuatu yang maujud, dan Allah Maha Mengetahui. Haqqi Ismail, (w..1137) menukil hadith itu dalam tafsirnya Ruh al-Bayan Ibn Hajar al-Haitami (w.974 H) dengan Fatawa Hadithiyyahnya Syaikh Ismail al-Dihlawi (w..1246 H) dengan risalahnya Yek Rauzah di mana beliau menyatakan: Sebagaimana yang diisyaratkan oleh riwayat: perkara yang awal dijadikan Allah adalah Nurku. Sulaiman al-Jamal (w.1204 H) yang menukil hadith tentang Nur Muhammad awal-awal dijadikan Allah, dalam syarahnya ke atas al-Busiri berjudul al-Futuhat alAhmadiyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah. ‘Abd al-Qadir al-Jili dengan Namus al-A’zam wa al.-Qamus al-Aqdam fi Ma’rifat Qadar al-Bani sallka’lahu ‘alaihi wa sallam menyebut hadith nur Muhammad. (‘Umar bin Ahmad, w.1299) dalam syarahnya terhadap al-Busiri menyebutnya. Maliki al-Hasani (Muhammad ibn ‘Alawi) menyebutnya dalam syarahnya terhadap kitab al-Qari Hasyiyah Al-Maurid al-Rawi fi Maulid al-Nabi. Pada halaman 40 beliau menyatakan “Sanad Jabir adalah sahih tanpa pertikaian, tetapi ulama berbeda pendapat tentang teksnya karena khususiahnya, Baihaqi juga meriwayatkan hadith itu dengan beberapa kelainan.”
Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (5:15) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad saw, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memusnahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
-    Mengenai surat An-nur ayat 35
Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut) adalah Nabi saw karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
 Ibn Katsir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip dari Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad saw sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
Kesimpulan tentang Nur Muhammad saw.
Dari pembentangan riwayat-riwayat di atas berdasarkan dokumentasi para mufassirin dan muhadditsin yang merupakan imam-imam dalam bidangnya, ada beberapa kesimpulan yang boleh dibuat. Antaranya ialah: bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sudah ada hakikatnya, nurnya, sebelum sekelian makhluk dijadikan. Bahkan nurnyalah yang merupakan makhluk pertama yang dijadikan oleh Tuhan, sebagai kekasihNya. Ia juga puncak bagi sekelian makhluk yang lain, baik alam tinggi atau alam bawah atau alam rendahnya, alam yang boleh dipandang dengan mata atau alam yang tidak boleh dipandang dengan mata. Ia makhluk yang terawal dicipta dan yang terkemudian sekali dibangkit dengan jasad dan rohnya dalam sejarah alam ini. Namun kewujudannya sebagai nabi dan rasul diketahui oleh sekalian nabi dan rasul dalam seluruh sejarah umat manusia, antaranya, khususnya jelas dari hadis-hadis yang berkenaan dengan Isra’ dan Mi’raj yang banyak dinukil oleh ibn Kathir dalam Tafsirnya berkenaan dengan ayat awal Surah bani Isra’il.
Kalau terlintas bahwa ini adalah tidak munasabah pada akal, maka banyak perkara yang boleh dikatakan tidak munasabah pada akal yang berfikir secara ‘biasa’, misalnya teori quantum tentang dunia yang ada ini dengan benda-bendanya tidak “pejal’ bahkan ia samaada bersifat sebagai gelombang atau zarrah yang tidak menentu sifatnya, sama ada gelombang atau zarrah. Yang kelihatan pejal, keras pada pandangan mata, pada neraca teori quantum adalah tidak demikian. Kalau mengikut fikiran secara ‘biasa” e=mc2 adalah tidak munasabah; tetapi pada ahlinya ia bukan sahaja ‘munasabah’ tetapi ada kebenarannya yang sangat nyata. Atau lihat sahaja benih manusia yang terpancar ke dalam rahim, kemudian selepas sembilan bulan lebih kurang ia menjadi manusia kecil yang bergerak, hidup, demikian seterusnya, kemudian berkata-kata dalam beberapa bulan. Orang boleh berkata sekarang: itu memang demikian. Ya, memang demikian yang berlaku dalam sunnah Tuhan. Demikian pula kita boleh sebutkan demikian sunnah Tuhan dalam hubungan dengan kejadian alam dari pada Nur Nabi kita s.a.w.
Kalau terlintas pada kita tentang hal yang demikian berlawanan dengan kejadian manusia, dan Nabi juga, dari tanah, maka perspektifnya ialah: pada hakikatnya tanah itupun asalnya dari ‘nur’, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk tanah dan lainnya. Tetapi asalnya dari zat-sebelum-benda yang satu itu, nur itu, sebagaimana yang diuraikan oleh kosmologi ulama Sunni kita. Allah memberi rahmat kepada mereka.
Dengan itu ‘nur’ nabi itu bukan saja maknawi, secara bahasa misalnya, tetapi memang hakikatnya ia nur, yang melintasi sekelian nur, sehingga ia makhluk yang berupa nur yang  menjadikan nur-nur yang lain dan zat-zat yang lain.
Kalau sekarang mereka berbicara tentang alam dari segi elektron, proton, neutron, ‘quarks’, ‘photon’ dan apa lagi, maka pada kita, sekalian daripada itu semua, dasar segalanya adalah asalnya ‘nur’ nabi kita. Yang lain-lain itu, bila benar pada pengamatan ilmiah yang mentaati syarat-syaratnya boleh diterima.
Kalau terlintas untuk kita siapa membuat tanggapan bahwa ini pantheisma, ini juga tidak timbul, sebab pantheism adalah falsafah Barat yang baru timbul dalam abad ke IX yang memaksudkan serba-Tuhan, semuanya juzuk-juzuk daripada Tuhan, walaupun hal ini bukan demikian. Yang diajarkan ialah bahwa Tuhan menjadikan nur Baginda sebagai makhluk terawal, yang menjadi puncak segalanya kemudian Baginda muncul dengan jasadnya dan rohnya bila tiba gilirannya di akhir zaman.
Inilah antara yang terlintas pada penulis yang kurang pengetahuan ini untuk menukilkan riwayat-riwayat dari puncak-puncak para ulama yang muktabar dalam umat ini untuk kefahaman dan pegangan bersama. Mudah-mudahan kita semua mendapat rahmat dan barakah dariNya.
TOKOH
Al-ALLUSI, Pengarang kitab tafsir “Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani”.
Nama lengkapnya adalah Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi. Nama al Alusi diambil dari nama suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat yang terletak di antarakota Abu Kamal dan kota Ramadi, Irak. Beliau lahir dari keluarga besar yang terpelajar di Baghdad pada tahun 1217 H / 1802 M.
Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.
Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).
Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik".
Al Alusi pernah menjabat sebagai Mufti Baghdad. Ia memiliki pengetahuan yang luas baik dalam bidang ‘aqli maupun naqli. Ia juga seorang mahaguru, pemikir dan ahli berpolemik. Sejak usia muda ia sudah mulai mengarang. Namun hanya sedikit karyanya yang diwariskan kepada generasi sekarang, diantaranya adalah Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani (Semangat makna dalam Tafsir al Qur’an dan al Sab’ al Masani).
Sejak lama al Alusi ingin menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah kitab. Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, keinginan tersebut belum dapat terwujud. Hingga pada suatu Malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252 H.  beliau bermimpi diperintah Allah SWT untuk melipat langit dan bumi. Kemudian (masih dalam keadaan mimpi) beliau mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, kemudian beliau terbangun. Setelah dicari, ternyata tafsir mimpi beliau adalah bahwa beliau diperintah mengarang sebuah kitab tafsir. Maka mulailah beliau mengarang pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu beliau berusia 34 tahun pada zaman pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan.
Setelah kitab ini selesai disusun, beliau mendapat kesulitan dalam memberikan nama yang sesuai. Akhirnya beliau melaporkan hal ini kepada Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Secara sepontan beliau memberinya nama Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani. Setelah beliau meninggal, kitab ini disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al Alusi.
Dalam bidang fiqih beliau bermadzhab Shafi’i, namun dalam banyak hal beliau mengikuti mazhab Hanafi. Bahkan beliau juga memiliki kecenderungan berijtihad. Sedangkan dalam aqidah mengikuti aqidah sunni.
Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. (dari berbagai sumber)


Oleh : Siti Nur Azizah

Translate

 

SANG BINTANG CUBBY Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal